Hijrahnya Rasulullah ke Madinah setelah 13
tahun berdakwah di Mekkah disambut gembira oleh warga Madinah. Hampir-hampir
semua merasakan kebahagiaan yang sama atas hijrah beliau, bahkan di antara
mereka berlomba-lomba untuk memuliakan beliau. Terasa sikap buruk kaum musyrik
quraish terbayar dengan sikap lapang dan penerimaan penuh atas dakwah Rasul di
Madinah.
Namun, hal tersebut tidak serta merta membuat
Madinah menjadi bersih dari orang-orang yang tidak menyukai dakwah. Jika di
Mekkah ada orang-orang yang dengan lantang dan dengan kekuasaannya menentang
dakwah Rasulullah, di Madinah ada orang-orang yang sejenis yang melabelkan
dirinya sebagai muslim namun menghianati bai’atnya dengan menyebar fitnah dan
melukai orang-orang beriman, kaum munafik.
Adalah seorang munafik Abdullah bin Ubay bin
Salul pada perjalanan kembali ke Madinah dari perang uhud menyatakan,” Tidakkah
kalian lihat, tidak ada yang lebih rakus dalam makan kecuali pada qari-qari
kita ini?”. Kemudian ada yang mendengar dan melaporkan kepada Rasul, namun
Rasul diam. Pada suatu ketika dalam perjalanan yang sama kembali Abdullah bin
Ubay bin Salul mengeluarkan satu statement yang tidak kalah menyakitkan,” Demi
Allah jika kemudian kita sudah kembali ke Madinah, orang mulia (Abdullah bin
Ubay bin Salul) akan mengusir orang yang hina (Rasulullah)”. Mendengar kalimat
ini, Rasulullah SAW tetap diam. Sampai kemudian beliau bertemu dengan Ubadah
bin Samit (orang yang satu kabilah dengan Abdullah bin Ubay bin Salul),
sehingga Ubadah melihat kesedihan di wajah Rasulullah dan bertanya kepada Rasul
apa gerangan yang terjadi. Rasul mengulang perkataan Abdullah bin Ubay bin
Salul kemudian ditanggapi dengan Ubadah, “Demi Allah dia benar wahai Rasulullah
karena engkaulah orang mulia yang akan datang ke Madinah dan dialah orang hina
yang akan dikeluarkan dari Madinah. Namun, meskipun begitu, berlemah lembutlah
kepadanya, sebab dia termasuk orang yang terluka. Sebelum kedatanganmu dia
disepakati oleh kaum Khazraj, Auz, Bani Quraizhoh, dan Bani Nadhir untuk
menjadi pemimpin tunggal Madinah. Hampir-hampir mereka mengalungkan mahkota
kepemimpinan padanya hingga engkau datang, dan hal itu tidak terjadi padanya”.
Melihat dari kisah ini, dapat dipetik suatu pelajaran bahwa Abdullah bin Ubay
memiliki latar belakang sakit hati kepada Rasulullah, yang berimbas pada
besarnya kebenciannya terhadap dakwah.
Umar ra pada suatu ketika berkata, “Ya
Rasulullah perintahkanlah kepadaku atau kepada siapapun yang Engkau inginkan
untuk membunuh Abdullah bin Ubay”. Namun dengan sifat halim Rasulullah,
permintaan Umar dijawab oleh Rasul: ”Wahai Umar, apa yang akan dikatakan oleh
orang-orang ketika tahu Rasulullah menyuruh membunuh sahabat-sahabatnya?”
Mendengar percakapan tersebut, Abdullah bin
Abdillah bin Ubay anak Abdullah bin Ubay bin Salul datang menghadap
Rasulullah,”Wahai Rasulullah, di Madinah ini tidak ada anak yang lebih berbakti
kepada orang tuanya kecuali aku. Maka jika kau ingin membunuh ayahku, janganlah
kau perintahkan kepada salah satu orang dari sahabatmu untuk membunuhnya,
karena saya khawatir tidak akan tahan melihat orang yang membunuh ayah saya
sehingga saya membalas dendam, dan saya takut menjadi kufur karena telah
membunuh orang yang beriman. Jika kau benar-benar ingin membunuhnya, maka
perintahkanlah saya”. “Adapun aku wahai Abdullah mengetahui keimananmu dan
mengetahui kemunafikan pada ayahmu”, jawab Rasulullah. “Bagaimana mungkin saya
memerintahkan untuk membunuh ayah sahabat saya sendiri?”, timpal Rasulullah.
Sesampainya di pintu gerbang Madinah,
Abdullah bin Abdillah bin Ubay
menghunuskan pedang kepada ayahnya, hingga terheran ayahnya. “ Wahai
anakku, sihir apa yang mengenaimu sehingga kau berani berbuat seperti ini
kepadaku?”. Abdullah bin Abdillah bin Ubay tidak bergerak dan hanya menjawab,
“Saya tidak akan membiarkanmu masuk hingga Rasulullah mengizinkanmu untuk
masuk”. Melihat kejadian ini, sehingga ada sahabat yang melaporkan kepada Rasul
dan membiarkan Abdullah bin Ubay untuk masuk.
Bergaul dengan orang terluka kadang-kadang
merepotkan, orang terluka terkadang menjadi sangat sensitif. Orang-orang
munafik yang terluka banyak tersakiti dengan semua tindak tanduk orang
muslimin, meskipun yang dibawa adalah kebaikan. Diajak bersalaman sekalipun,
dirasa menjadi perbuatan yang menyakitkan. Dan secara diam-diam mereka menjadi
curiga kepada semua orang.
Ibarat seseorang yang sedang menyerut kayu
kemudian ada serbuk kayu yang menelusup di dalam kulit jarinya, sangat sakit
jika disentuh namun jika dibiarkan terus menjadi luka dan bahkan bernanah.
Ketika bernanah, jangankan dipegang disentuh secara tidak sengajapun akan
terasa sakit yang lebih. Begitulah keadaan orang yang terluka dan tidak
memiliki hati besar untuk menerima kenyataan dan kekurangan dirinya. Hanya
melihat dari satu sisi, dari orang yang dia rasa telah melukai perasaannya.
Hati-hati jika kita terluka oleh orang soleh,
karena itu akan membuat kita tergelincir pada kemunafikan. Karena kadang kita
memlihara nilai-nilai yang berseberangan dengan orang soleh itu jika kita
memlihara kebencian tersebut.
Tidak jarang kita melihat banyak orang
melihat secara negatif dakwah yang kita bawa. Padahal ketika kita telisik,
kebanyakan dari mereka tidak memahami secara pasti dakwah seperti apa yang kita
bawa. Tidak jarang juga sahabat-sahabat yang dulu berjuang bersama kita
mengambil haluan berbeda dan menusuk sendi-sendi vital dakwah ini karena alasan
tersakiti oleh seseorang atau suatu kekhilafan dari personal orang yang menjadi
pejuang dakwah ini. Yang dampaknya menyakiti semua yang berada di dalam dakwah
secara keseluruhan.
Apa yang dilakukan Abdullah bin Ubay
sepanjang hidupnya, sangat mengganggu kelancaran jalannya dakwah di Madinah.
Namun sifat Al-hilmu, kesantunan Rasulullah adalah nilai akhlak tertinggi yang
beliau miliki. Rasul menjadi Halim kepada Abdullah bin Ubay, padahal dia sangat
mengganggu dan membuat makar yang buruk untuk Rasulullah.
Rasulullah dengan keadaan seperti itu terus
menyikapi dengan akhlak tertingginya, kesantunan. Namun jika kita berada di
posisi Rasulullah sebagai aktivis dakwah, apakah kita masih menggunakan akal
sehat dan terus berusaha bersikap santun? Rasul pun merasa sedih dengan
perlakuan orang munafik, kitapun jika berada di posisi yang mirip dengan Rasul
yang dikaitkan peran kita sebagai aktivis dakwah pasti juga merasakan kesedihan
yang dalam.
Terkadang kita kurang bisa mengevaluasi diri
kita atas apa yang telah kita lakukan, jangan sampai amalan dakwah kita
mengaburkan niat kita yang murni. Kesantunan dalam dakwah kita harus terus kita
utamakan, karena ummat mencintai Rasul tidak lain karena akhlaknya. Maka sepatutnya,
kita aktivis dakwah yang mengaku mencontohi perilaku mulia Rasul sepantasnya
mengedepankan akhlak kita dalam kerja-kerja dakwah kita.
Ya
Allah ampunilah kami dan dosa-dosa kami dan juga orang-orang yang mendahului
kami dengan iman. Dan jangan kau biarkan ada di hati kami sekedar perasaan
tidak enak kepada orang-orang beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar