Sabtu, 06 April 2013

Santun dalam Berdakwah



Hijrahnya Rasulullah ke Madinah setelah 13 tahun berdakwah di Mekkah disambut gembira oleh warga Madinah. Hampir-hampir semua merasakan kebahagiaan yang sama atas hijrah beliau, bahkan di antara mereka berlomba-lomba untuk memuliakan beliau. Terasa sikap buruk kaum musyrik quraish terbayar dengan sikap lapang dan penerimaan penuh atas dakwah Rasul di Madinah.
Namun, hal tersebut tidak serta merta membuat Madinah menjadi bersih dari orang-orang yang tidak menyukai dakwah. Jika di Mekkah ada orang-orang yang dengan lantang dan dengan kekuasaannya menentang dakwah Rasulullah, di Madinah ada orang-orang yang sejenis yang melabelkan dirinya sebagai muslim namun menghianati bai’atnya dengan menyebar fitnah dan melukai orang-orang beriman, kaum munafik.
Adalah seorang munafik Abdullah bin Ubay bin Salul pada perjalanan kembali ke Madinah dari perang uhud menyatakan,” Tidakkah kalian lihat, tidak ada yang lebih rakus dalam makan kecuali pada qari-qari kita ini?”. Kemudian ada yang mendengar dan melaporkan kepada Rasul, namun Rasul diam. Pada suatu ketika dalam perjalanan yang sama kembali Abdullah bin Ubay bin Salul mengeluarkan satu statement yang tidak kalah menyakitkan,” Demi Allah jika kemudian kita sudah kembali ke Madinah, orang mulia (Abdullah bin Ubay bin Salul) akan mengusir orang yang hina (Rasulullah)”. Mendengar kalimat ini, Rasulullah SAW tetap diam. Sampai kemudian beliau bertemu dengan Ubadah bin Samit (orang yang satu kabilah dengan Abdullah bin Ubay bin Salul), sehingga Ubadah melihat kesedihan di wajah Rasulullah dan bertanya kepada Rasul apa gerangan yang terjadi. Rasul mengulang perkataan Abdullah bin Ubay bin Salul kemudian ditanggapi dengan Ubadah, “Demi Allah dia benar wahai Rasulullah karena engkaulah orang mulia yang akan datang ke Madinah dan dialah orang hina yang akan dikeluarkan dari Madinah. Namun, meskipun begitu, berlemah lembutlah kepadanya, sebab dia termasuk orang yang terluka. Sebelum kedatanganmu dia disepakati oleh kaum Khazraj, Auz, Bani Quraizhoh, dan Bani Nadhir untuk menjadi pemimpin tunggal Madinah. Hampir-hampir mereka mengalungkan mahkota kepemimpinan padanya hingga engkau datang, dan hal itu tidak terjadi padanya”. Melihat dari kisah ini, dapat dipetik suatu pelajaran bahwa Abdullah bin Ubay memiliki latar belakang sakit hati kepada Rasulullah, yang berimbas pada besarnya kebenciannya terhadap dakwah.
Umar ra pada suatu ketika berkata, “Ya Rasulullah perintahkanlah kepadaku atau kepada siapapun yang Engkau inginkan untuk membunuh Abdullah bin Ubay”. Namun dengan sifat halim Rasulullah, permintaan Umar dijawab oleh Rasul: ”Wahai Umar, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang ketika tahu Rasulullah menyuruh membunuh sahabat-sahabatnya?”
Mendengar percakapan tersebut, Abdullah bin Abdillah bin Ubay anak Abdullah bin Ubay bin Salul datang menghadap Rasulullah,”Wahai Rasulullah, di Madinah ini tidak ada anak yang lebih berbakti kepada orang tuanya kecuali aku. Maka jika kau ingin membunuh ayahku, janganlah kau perintahkan kepada salah satu orang dari sahabatmu untuk membunuhnya, karena saya khawatir tidak akan tahan melihat orang yang membunuh ayah saya sehingga saya membalas dendam, dan saya takut menjadi kufur karena telah membunuh orang yang beriman. Jika kau benar-benar ingin membunuhnya, maka perintahkanlah saya”. “Adapun aku wahai Abdullah mengetahui keimananmu dan mengetahui kemunafikan pada ayahmu”, jawab Rasulullah. “Bagaimana mungkin saya memerintahkan untuk membunuh ayah sahabat saya sendiri?”, timpal Rasulullah.
Sesampainya di pintu gerbang Madinah, Abdullah bin Abdillah bin Ubay  menghunuskan pedang kepada ayahnya, hingga terheran ayahnya. “ Wahai anakku, sihir apa yang mengenaimu sehingga kau berani berbuat seperti ini kepadaku?”. Abdullah bin Abdillah bin Ubay tidak bergerak dan hanya menjawab, “Saya tidak akan membiarkanmu masuk hingga Rasulullah mengizinkanmu untuk masuk”. Melihat kejadian ini, sehingga ada sahabat yang melaporkan kepada Rasul dan membiarkan Abdullah bin Ubay untuk masuk.
Bergaul dengan orang terluka kadang-kadang merepotkan, orang terluka terkadang menjadi sangat sensitif. Orang-orang munafik yang terluka banyak tersakiti dengan semua tindak tanduk orang muslimin, meskipun yang dibawa adalah kebaikan. Diajak bersalaman sekalipun, dirasa menjadi perbuatan yang menyakitkan. Dan secara diam-diam mereka menjadi curiga kepada semua orang.
Ibarat seseorang yang sedang menyerut kayu kemudian ada serbuk kayu yang menelusup di dalam kulit jarinya, sangat sakit jika disentuh namun jika dibiarkan terus menjadi luka dan bahkan bernanah. Ketika bernanah, jangankan dipegang disentuh secara tidak sengajapun akan terasa sakit yang lebih. Begitulah keadaan orang yang terluka dan tidak memiliki hati besar untuk menerima kenyataan dan kekurangan dirinya. Hanya melihat dari satu sisi, dari orang yang dia rasa telah melukai perasaannya.
Hati-hati jika kita terluka oleh orang soleh, karena itu akan membuat kita tergelincir pada kemunafikan. Karena kadang kita memlihara nilai-nilai yang berseberangan dengan orang soleh itu jika kita memlihara kebencian tersebut.
Tidak jarang kita melihat banyak orang melihat secara negatif dakwah yang kita bawa. Padahal ketika kita telisik, kebanyakan dari mereka tidak memahami secara pasti dakwah seperti apa yang kita bawa. Tidak jarang juga sahabat-sahabat yang dulu berjuang bersama kita mengambil haluan berbeda dan menusuk sendi-sendi vital dakwah ini karena alasan tersakiti oleh seseorang atau suatu kekhilafan dari personal orang yang menjadi pejuang dakwah ini. Yang dampaknya menyakiti semua yang berada di dalam dakwah secara keseluruhan.
Apa yang dilakukan Abdullah bin Ubay sepanjang hidupnya, sangat mengganggu kelancaran jalannya dakwah di Madinah. Namun sifat Al-hilmu, kesantunan Rasulullah adalah nilai akhlak tertinggi yang beliau miliki. Rasul menjadi Halim kepada Abdullah bin Ubay, padahal dia sangat mengganggu dan membuat makar yang buruk untuk Rasulullah.
Rasulullah dengan keadaan seperti itu terus menyikapi dengan akhlak tertingginya, kesantunan. Namun jika kita berada di posisi Rasulullah sebagai aktivis dakwah, apakah kita masih menggunakan akal sehat dan terus berusaha bersikap santun? Rasul pun merasa sedih dengan perlakuan orang munafik, kitapun jika berada di posisi yang mirip dengan Rasul yang dikaitkan peran kita sebagai aktivis dakwah pasti juga merasakan kesedihan yang dalam.
Terkadang kita kurang bisa mengevaluasi diri kita atas apa yang telah kita lakukan, jangan sampai amalan dakwah kita mengaburkan niat kita yang murni. Kesantunan dalam dakwah kita harus terus kita utamakan, karena ummat mencintai Rasul tidak lain karena akhlaknya. Maka sepatutnya, kita aktivis dakwah yang mengaku mencontohi perilaku mulia Rasul sepantasnya mengedepankan akhlak kita dalam kerja-kerja dakwah kita.
Ya Allah ampunilah kami dan dosa-dosa kami dan juga orang-orang yang mendahului kami dengan iman. Dan jangan kau biarkan ada di hati kami sekedar perasaan tidak enak kepada orang-orang beriman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar