Rabu, 10 April 2013

Karena dengannya Aku Tenang



Awal tahun sebelum saya memutuskan sekolah mana yang akan saya tuju untuk melanjutkan studi setelah lulus sekolah menengah pertama, saya bertekad untuk melepas kerudung yang telah 2,5 tahun saya pakai. Ya, fix saya tanggalkan, sejak pertama kali saya tiba di pulau Celebes ini setelah terbang jauh dari pulau berbentuk burung di ujung timur. Berkilo meter jarak terpisah membuat saya semakin mantap untuk menanggalkannya. "Tiada teman yang kenal saya di sini”, lirihku menenangkan diri.
Malam itu tanggal 2 Juli 2004, sehari setelah usiaku genap 15 tahun. Angin semilir menyambutku dengan uraian rambut yang hari ini bebas tersibak angin. Beda dari suasana biasanya. Pakaianku pun hanya selengan dengan celana yang melengkapi styleku yang hanya sebetis.
Akhirnya setelah sebulan sibuk ikut ujian beberapa sekolah menengah atas untuk melanjutkan studiku, saya memilih untuk masuk di salah satu sekolah kejuruan yang cukup ternama dengan tingkat kesulitan seleksi masuk yang cukup tinggi dibanding sekolah lain yang saya ikuti ujiannya.
Awal masuk sekolah cukup menyenangkan dengan berbagai teman baru yang saya temui. Sangat berbeda dengan sekolah yang ada di daerah saya, di sekolah ini semua fasilitasnya lengkap. Bahkan ada masjidnya, sehingga semua murid dan guru bisa melaksanakan ibadah shalat tepat waktu dan secara berjamaah. Namun, satu cerita yang entahlah bagaimana perasaanku saat itu. Saat pelajaran agama, saya disangka tidak beragama muslim. Ssrrr, sedesir angin yang membuat sesak melewati dadaku.
Mungkin sebagian orang akan menyangka saya galau, sebagian lainnya tidak peduli, bahkan sebagian lainnya sangat mendukung dengan keputusan saya. Sahabat saya memang sebagian besar adalah non muslim, kalaupun muslim mereka juga tidak faham dengan hijab apalagi menggunakannya, pastinya tidak.

*****
Pertengahan Desember 2001 saya memutuskan menggunakan kerudung. Syok, saya syok abis. Besar dengan lingkungan yang kurang mengajarkan nilai – nilai keislaman, saya sebelumnya mengambil kesimpulan bahwa kerudung hanya sekedar kebudayaan orang Arab yang kebetulan Islam berpusat di sana. Argumen saya bukan karena tanpa alasan, sebab keluarga saya yang sudah berhaji bahkan sepupu saya yang menyelesaikan studi di pesantren tidak menggunakan hijab setelahnya. Bukan, bukan berarti karena keluarga saya tidak sama sekali menginternalisasikan nilai – nilai keislaman. Belajar baca Alquran adalah satu kewajiban dengan prioritas tinggi yang dicanangkan ibuku, meskipun ibuku tidak begitu menjalankan perintah agama dengan benar. Ayahku dikenal dengan ahli ibadah, beliau tidak pernah meninggalkan shalat tepat waktunya bahkan beliau selalu menutup toko di waktu shalat dan tidak meminta orang lain untuk menjaga.
Saya tahu bahwa muslimah wajib berhijab dari pemaparan materi pesantren kilat I se-kabupaten yang diadakan di daerah saya. Ya sekabupaten, karena sedikitnya jumlah kami yang muslim sehingga siswa SMP dan SMA digabung. Bahkan yang saya tangkap, hijab di dalam Islam itu bukan membungkus tapi menutup. Sejak hari itu saya bertekad untuk menjalankan salah satu kewajiban sebagai seorang muslimah tersebut.
Hati – hati saya menyampaikan niat saya itu kepada ibu, di luar dugaan beliau membolehkan. Masih dengan sikap dinginnya, permintaan saya hanya dibalas dengan kalimat, “yang penting kalo udah di pake, ga di lepas – lepas lagi”. Segera saya meluncur ke penjahit yang tempatnya hanya berselang dua rumah dari rumah saya. Hal ini harus saya pastikan, untuk baju dan rok saya selesai dikerjakan maksimal sehari sebelum masuk sekolah setelah liburan lebaran, natal, dan tahun baru. Saya juga ingat dengan baik di minggu pertama sebelum masuk sekolah saya menggunakan celana panjang dan jaket yang sama ketika keluar rumah karena cuma itu satu – satunya yang bisa menutup auratku pada waktu itu.
Ada beberapa teman yang juga tercerahkan dan berniat untuk menggunakan hijab setelah pemaparan ustad di pesantren kilat itu, dan dengan omongan ringan saat pulang bersama kami bersepakat untuk masuk sekolah dengan tampilan baru. Di hari pertama sekolah, semua orang cukup gempar dengan tampilan saya. Namun, saya juga agak sedih karena hampir semua orang yang bersepakat dengan tampilan syar’inya menangguhkannya dengan berbagai alasan. But, so far it’s no problem for me.
“Kamu kok pake itu?”, tanya guru kesenianku yang memang cukup dekat denganku sambil menunjuk ke arah kerudungku. Dengan senyum simpul saya menjawab, “hm, ini hal yang diwajibkan oleh agamaku bu”, seraya berlalu di hadapannya. Walaupun sempat tercetus dari mulut beliau, "lebih cantik kalau tidak pake 'itu'". Ya, saya merasakan diri saya yang baru. Belum pernah saya merasa bebas seperti ini sebelumnya. Dan ternyata setelah zaman orde baru yang tidak membolehkan penggunaan kerudung di sekolah, saya termasuk orang pertama yang menggunakannya di sekolahku dimana muslim merupakan minoritas.

*****
Ingatan di atas terus bergelayut setelah genap 4 bulan saya tidak menggunakannya lagi. Ternyata persepsi saya bahwa dengan melepaskan kerudung, orang tidak sewenang – wenang menjudge kerudung saya buruk berdasarkan keburukan pribadi saya, tidak serta merta membuat saya merasa nyaman dan aman. Saya melihat semua orang yang dekat dengan saya, semua yang memberi perhatian kepada saya, bahkan semua yang menobatkan diri mereka sebagai sahabat saya hanya melihat saya sebatas tampilan dan materi yang saya miliki. Dan parahnya, banyak teman – teman lelaki yang tidak segan secara vulgar mendekati saya, yang tidak pernah saya rasakan ketika saya menggunakan kerudung, dan semua hal tersebut benar – benar memuakkan.
Saya merasa benar – benar telah berbelok ke haluan yang menyimpang dari seharusnya. Saya menangis sejadi – jadinya dengan kebodohan yang telah saya lakukan, saya benar – benar memohon ampun atas pengambilan keputusan terbodoh yang saya pernah ambil.
Di sekolah saya yang baru ini, semua ibadah saya menjadi lebih baik karena lingkungan saya yang mayoritas muslim, kecuali menggunakan hijab. Akhirnya, desember 2004 saya bertekad untuk menggunakannya kembali.  Dengan uang jajan yang sudah saya tabung, saya ke tukang jahit untuk menjahit beberapa rok untuk kebutuhan sekolah dan sehari – hari. Saya tidak meminta izin lagi kepada ibu, bahkan tidak satu pun orang saya beri tahu dengan rencana saya.
Tanggal 28 Desember 2004, tepat hari selasa setelah dua hari bencana tsunami, saya ke sekolah dengan gaya baruku. Semua gempar, hampir seperti pertama kali saya menggunakannya waktu SMP. Saya sengaja menggunakannya tidak di hari senin hanya dengan alasan 'iseng' agar saya tidak menjadi pusat perhatian di lapangan upacara. Serta merta senioritas yang memang terkenal kejam di sekolahku terhenti dengan tampilan baruku, semuanya segan. Saya jadi teringat sebuah kalimat bijak ‘Anda sopan kami pun segan’, benar – benar benar J
Harapku, dengannya Dia ridhai apa yang saya lakukan. Mengikuti syariatnya adalah suatu kebutuhanku, bukan suatu kewajiban yang memberatkan. Sehingga selalu kupinta padaNya untuk menetapkan hatiku hanya padaNya. Mencintai apa yang Dia kehendaki, membenci apa yang Dia larang, dan membenci perbuatan buruk yang pernah saya lakukan. Saya berharap, saya berdoa, saya berusaha, dan saya selalu berharap atas kemurahanNya. Semoga...
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri – istrimu, anak – anak perempuanmu, dan istri – istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS 33:59)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar