Awal tahun
sebelum saya memutuskan sekolah mana yang akan saya tuju untuk melanjutkan
studi setelah lulus sekolah menengah pertama, saya bertekad untuk melepas
kerudung yang telah 2,5 tahun saya pakai. Ya, fix saya tanggalkan, sejak
pertama kali saya tiba di pulau Celebes ini setelah terbang jauh dari pulau
berbentuk burung di ujung timur. Berkilo meter jarak terpisah membuat saya
semakin mantap untuk menanggalkannya. "Tiada teman yang kenal saya di
sini”, lirihku menenangkan diri.
Malam
itu tanggal 2 Juli 2004, sehari setelah usiaku genap 15 tahun. Angin semilir
menyambutku dengan uraian rambut yang hari ini bebas tersibak angin. Beda dari
suasana biasanya. Pakaianku pun hanya selengan dengan celana yang melengkapi styleku yang hanya sebetis.
Akhirnya
setelah sebulan sibuk ikut ujian beberapa sekolah menengah atas untuk
melanjutkan studiku, saya memilih untuk masuk di salah satu sekolah kejuruan
yang cukup ternama dengan tingkat kesulitan seleksi masuk yang cukup tinggi dibanding sekolah lain yang saya ikuti ujiannya.
Awal
masuk sekolah cukup menyenangkan dengan berbagai teman baru yang saya temui.
Sangat berbeda dengan sekolah yang ada di daerah saya, di sekolah ini semua
fasilitasnya lengkap. Bahkan ada masjidnya, sehingga semua murid dan guru bisa
melaksanakan ibadah shalat tepat waktu dan secara berjamaah. Namun, satu cerita
yang entahlah bagaimana perasaanku saat itu. Saat pelajaran agama, saya
disangka tidak beragama muslim. Ssrrr, sedesir angin yang membuat sesak
melewati dadaku.
Mungkin
sebagian orang akan menyangka saya galau, sebagian lainnya tidak peduli, bahkan
sebagian lainnya sangat mendukung dengan keputusan saya. Sahabat saya memang
sebagian besar adalah non muslim, kalaupun muslim mereka juga tidak faham
dengan hijab apalagi menggunakannya, pastinya tidak.
*****
Pertengahan
Desember 2001 saya memutuskan menggunakan kerudung. Syok, saya syok abis. Besar
dengan lingkungan yang kurang mengajarkan nilai – nilai keislaman, saya sebelumnya
mengambil kesimpulan bahwa kerudung hanya sekedar kebudayaan orang Arab yang
kebetulan Islam berpusat di sana. Argumen saya bukan karena tanpa alasan, sebab
keluarga saya yang sudah berhaji bahkan sepupu saya yang menyelesaikan studi di
pesantren tidak menggunakan hijab setelahnya. Bukan, bukan berarti karena
keluarga saya tidak sama sekali menginternalisasikan nilai – nilai keislaman.
Belajar baca Alquran adalah satu kewajiban dengan prioritas tinggi yang
dicanangkan ibuku, meskipun ibuku tidak begitu menjalankan perintah agama
dengan benar. Ayahku dikenal dengan ahli ibadah, beliau tidak pernah
meninggalkan shalat tepat waktunya bahkan beliau selalu menutup toko di waktu
shalat dan tidak meminta orang lain untuk menjaga.
Saya
tahu bahwa muslimah wajib berhijab dari pemaparan materi pesantren kilat I se-kabupaten
yang diadakan di daerah saya. Ya sekabupaten, karena sedikitnya jumlah kami
yang muslim sehingga siswa SMP dan SMA digabung. Bahkan yang saya tangkap,
hijab di dalam Islam itu bukan membungkus tapi menutup. Sejak hari itu saya
bertekad untuk menjalankan salah satu kewajiban sebagai seorang muslimah
tersebut.
Hati –
hati saya menyampaikan niat saya itu kepada ibu, di luar dugaan beliau
membolehkan. Masih dengan sikap dinginnya, permintaan saya hanya dibalas dengan
kalimat, “yang penting kalo udah di pake, ga di lepas – lepas lagi”. Segera
saya meluncur ke penjahit yang tempatnya hanya berselang dua rumah dari rumah
saya. Hal ini harus saya pastikan, untuk baju dan rok saya selesai dikerjakan maksimal
sehari sebelum masuk sekolah setelah liburan lebaran, natal, dan tahun baru.
Saya juga ingat dengan baik di minggu pertama sebelum masuk sekolah saya
menggunakan celana panjang dan jaket yang sama ketika keluar rumah karena cuma
itu satu – satunya yang bisa menutup auratku pada waktu itu.
Ada
beberapa teman yang juga tercerahkan dan berniat untuk menggunakan hijab
setelah pemaparan ustad di pesantren kilat itu, dan dengan omongan ringan saat
pulang bersama kami bersepakat untuk masuk sekolah dengan tampilan baru. Di
hari pertama sekolah, semua orang cukup gempar dengan tampilan saya. Namun,
saya juga agak sedih karena hampir semua orang yang bersepakat dengan tampilan
syar’inya menangguhkannya dengan berbagai alasan. But, so far it’s no problem for me.
“Kamu
kok pake itu?”, tanya guru kesenianku yang memang cukup dekat denganku sambil
menunjuk ke arah kerudungku. Dengan senyum simpul saya menjawab, “hm, ini hal
yang diwajibkan oleh agamaku bu”, seraya berlalu di hadapannya. Walaupun sempat tercetus dari mulut beliau, "lebih cantik kalau tidak pake 'itu'". Ya, saya
merasakan diri saya yang baru. Belum pernah saya merasa bebas seperti ini
sebelumnya. Dan ternyata setelah zaman orde baru yang tidak membolehkan
penggunaan kerudung di sekolah, saya termasuk orang pertama yang menggunakannya
di sekolahku dimana muslim merupakan minoritas.
*****
Ingatan
di atas terus bergelayut setelah genap 4 bulan saya tidak menggunakannya lagi.
Ternyata persepsi saya bahwa dengan melepaskan kerudung, orang tidak sewenang –
wenang menjudge kerudung saya buruk
berdasarkan keburukan pribadi saya, tidak serta merta membuat saya merasa
nyaman dan aman. Saya melihat semua orang yang dekat dengan saya, semua yang
memberi perhatian kepada saya, bahkan semua yang menobatkan diri mereka sebagai
sahabat saya hanya melihat saya sebatas tampilan dan materi yang saya miliki. Dan
parahnya, banyak teman – teman lelaki yang tidak segan secara vulgar mendekati
saya, yang tidak pernah saya rasakan ketika saya menggunakan kerudung, dan
semua hal tersebut benar – benar memuakkan.
Saya
merasa benar – benar telah berbelok ke haluan yang menyimpang dari seharusnya. Saya
menangis sejadi – jadinya dengan kebodohan yang telah saya lakukan, saya benar
– benar memohon ampun atas pengambilan keputusan terbodoh yang saya pernah
ambil.
Di
sekolah saya yang baru ini, semua ibadah saya menjadi lebih baik karena
lingkungan saya yang mayoritas muslim, kecuali menggunakan hijab. Akhirnya,
desember 2004 saya bertekad untuk menggunakannya kembali. Dengan uang jajan yang sudah saya tabung,
saya ke tukang jahit untuk menjahit beberapa rok untuk kebutuhan sekolah dan
sehari – hari. Saya tidak meminta izin lagi kepada ibu, bahkan tidak satu pun
orang saya beri tahu dengan rencana saya.
Tanggal
28 Desember 2004, tepat hari selasa setelah dua hari bencana tsunami, saya ke
sekolah dengan gaya baruku. Semua gempar, hampir seperti pertama kali saya
menggunakannya waktu SMP. Saya sengaja menggunakannya tidak di hari senin hanya
dengan alasan 'iseng' agar saya tidak menjadi pusat perhatian di lapangan
upacara. Serta merta senioritas yang memang terkenal kejam di sekolahku
terhenti dengan tampilan baruku, semuanya segan. Saya jadi teringat sebuah
kalimat bijak ‘Anda sopan kami pun segan’, benar – benar benar J
Harapku, dengannya Dia ridhai apa yang saya lakukan. Mengikuti syariatnya adalah suatu kebutuhanku, bukan suatu kewajiban yang memberatkan. Sehingga selalu kupinta padaNya untuk menetapkan hatiku hanya padaNya. Mencintai apa yang Dia kehendaki, membenci apa yang Dia larang, dan membenci perbuatan buruk yang pernah saya lakukan. Saya berharap, saya berdoa, saya berusaha, dan saya selalu berharap atas kemurahanNya. Semoga...
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri – istrimu, anak – anak
perempuanmu, dan istri – istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang (QS 33:59)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar