Pernah kah terpikir
oleh kita segala aktivitas kita yang menumpuk itu tiada artinya? Air mata,
menjadi satu kebutuhan…
Bagaimana bisa?
Yah, kadang hidupnya hati sering ditandai dengan tetesan air mata. Bagaimana tidak,
seorang Umar bin Khattab pun menangisi kebodohannya di jaman jahiliyah setelah
hijrah pada Islam.
Tapi, bagaimana
agar air mata itu keluar?
Kadang keinsafan
dan rasa mendalam akan banyaknya khilaf dan salah perlu dihadirkan. Namun,
khilaf dan salah yang terus diabaikan sedikit demi sedikit membuat mati rasa. Yah,
mati rasa
Mati rasa akan
kesalahan
Mati rasa akan
ketamakan
Mati rasa akan
kesia-siaan perbuatan
Mati rasa disebabkan
sifat malas, menunda-nunda pekerjaan, banyak dosa, dsb
Disadari, namun
tetap sulit dikeluarkan.
Disadari, namun
sulit dipaksakan.
Apakah sampai hati
itu keras membatu? Saya juga kurang memahaminya..
Haru biru rasa itu
membuncah di dalam dada, namun air itu tak kunjung keluar…
Terjebak pada rasa
kebingungan yang dipenuhi kefanaan, kumencari Tuhanku
Serasa hilang jejak
dan rasa, Dia selalu dekat, Dia selalu mengawasi, bisikku menguatkan hati
Dan masih
terus berharap rasa itu muncul, air itu ada, dari tempat yang tak terduga.
Seperti Hajar yang berlari dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah padahal airnya ada
di tengah keduanya, tepat di bawah kaki kecil Ismail
Masih terus
berharap, berharap, hati ini tiada beku di dalamnya …
Dan air itu...
Masih terlihat dari kejauhan, inginnya kuberlari mengejarnya namun kukhawatir itu adalah fatamorgana.
Dan air itu...
Masih terlihat dari kejauhan, inginnya kuberlari mengejarnya namun kukhawatir itu adalah fatamorgana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar