Selasa, 23 April 2013

Akhwat (dilarang) Pulang Malam


“Akhwat itu tidak baik pulang malam!”
Teguran tersebut tidak dapat begitu saja diterima oleh akhwat. Tuntutan kuliah, tugas, dan amanah seperti BEM dan organisasi lainnya yang belum terkondisikan, seringkali memposisikan mereka untuk pulang larut malam. Bahkan, saat ini, fenomena seorang akhwat yang pulang larut malam seolah menjadi hal yang biasa.
Tapi, percayalah bahwa sebenarnya dalam lubuk hati yang terdalam, para akhwat pun merasa tidak nyaman jika harus pulang malam. Ada beban mental menghadapi tanggapan dan pandangan masyarakat. Ada kecemasan akan pelanggaran kode etik tak tertulis mengenai bagaimana sikap dan perbuatan seorang “wanita baik-baik” di mata sosial yang menganut penuh prinsip budaya ketimuran.
Memang, kesemuanya itu hanyalah peraturan dan pandangan yang dibuat oleh manusia, bukan peraturan Al-Quran maupun hadis yang tak dapat dirubah. Akan tetapi kita ini hidup bermasyarakat, hidup dengan orang lain, tentunya harus menghormati peraturan yang ada. Dengan demikian kita dapat mencerminkan bahwa Islam juga sangat mempertimbangkan keutamaan muamalah. Dan dengan menghargai peraturan yang ada di masyarakat (tentu peraturan yang logis dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam), kita telah melakukan sebagian dari dakwah.
Mari membangun persepsi terlabih dahulu mengenai parameter kata malam. Drs. Moh. Rifa’i dalam bukunya yang berjudul “Risalah Tuntunan Sholat Lengkap”, khususnya bab salat sunnah tahajud, memaparkan pembagian malam menjadi tiga, yaitu:
Sepertiga malam pertama : pukul 19.00-22.00
Sepertiga malam kedua : pukul 22.00-01.00
Sepertiga malam ketiga : pukul 01.00-menjelang subuh
Dengan demikian, waktu malam terhitung sejak sekitar pukul 19.00. Akan tetapi sebagian aktivis terkadang membuat kebijakan tentang malam yang dimaksud, misalnya malam dimulai sejak maghrib, atau malam adalah lebih dari pukul 21.00. Pembuatan kebijakan tersebut sebenarnya sah-sah saja dengan syarat sang pembuat kebijakan memang mengetahui seluk beluk lingkup penerapannya sehingga menimbulkan kebaikan bagi sasaran. Yang jelas, waktu-waktu di atas pukul 21.00 adalah waktu yang sudah teramat malam bagi muslimah atau wanita untuk berada di luar rumah.
Kembali pada soal akhwat yang pulang larut malam. Sebenarnya, apakah penyebab akhwat dipandang tidak baik dan bahkan dilarang untuk pulang malam? Adakah dalil yang menyatakan bahwa akhwat dilarang pulang malam?
Akhwat dilarang untuk pulang malam pada dasarnya adalah untuk menghindari dua fitnah. Yang pertama adalah fitnah keamanan. Memang sudah diartikan secara klasik bahwa pada malam hari yang gelap, kriminalitas dan kejahatan akan banyak dilakukan, di mana pun tempatnya dan apa pun bentuknya. Selain itu, dalam QS. Al-Falaq ayat 1-3 ( Katakanlah: “aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluknya, dan dari kejahatan malam apabila gelap gulita….”) disebutkan “kejahatan malam apabila gelap gulita”. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran pun telah mengisyaratkan bahwa pada malam hari ada banyak kejahatan dilakukan. Hal tersebut tentu akan menjadi ancaman berbahaya, khususnya bagi para akhwat yang tak dapat dipungkiri bahwa mayoritas tidak mampu melakukan pelindungan diri dari kejahatan.
Sedangkan fitnah yang kedua adalah fitnah khalwat dengan lain jenis. Pada kondisi tertentu, ketika akhwat tidak berani pulang sendirian pada malam hari, maka akan ada ikhwan yang merasa kasihan dan kemudian mengantarkannya. Semoga niatnya tercatat sebagai kebaikan. Namun, pulang larut malam bersama lawan jenis bukanlah sebuah tindakan yang bijak karena justru akan menimbulkan berbagai macam asumsi masyarakat, misalnya tentang “apa yang dilakukan oleh sepasang ikhwan dan akhwat sampai malam begini?”. Juga asumsi-asumsi lain yang nantinya berbuah fitnah.
Para ulama pun telah memberi isyarat bahwa malam hari itu banyak bertebaran fitnah sehingga lebih baik banyak berzikir di rumah dari pada berkeliaran di luar rumah.
Fitnah-fitnah yang ada (terutama yang sebenarnya bisa dicegah tapi timbul karena perbuatan sendiri) akan berpotensi menurunkan izzah (wibawa, harga diri, kemuliaan) seorang akhwat. Padahal, seorang akhwat dengan segala atribut kemuslimahannya harusnya memiliki dan mampu menjaga izzah serta menjadi teladan kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak pulang larut malam adalah salah satu bentuk dakwah dengan keteladanan.
Memang, tidak ada dalil yang melarang akhwat pulang malam, tapi justru lebih dari itu, dalam sebuah hadis disebutkan, “Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk bermusafir kecuali bersamanya mahromnya”(HR:Bukhori).
Pergi bersama mahromkah para akhwat yang pulang malam itu? Kebanyakan tidak. Dalam hadis tersebut bahkan wanita dilarang keluar rumah sama sekali. Namun, dalam menyikapi hadis ini, para ulama shalafussolih telah memberikan batasan-batasan yang sangat tegas bahwa muslimah diharamkan bepergian tanpa mahromnya kecuali dalam tiga hal, yaitu: untuk menyelamatkan akidahnya, menuntut ilmu, dan untuk hal-hal yang bersifat durori. Semoga ini bisa menjadi pertimbangan dalam menanggapi larangan pulang malam.
Fenomena akhwat pulang malam memang seperti sulit dihindari jika alasannya tugas dan amanah. Apalagi bagi akhwat yang tinggal di kos-kosan atau kontrakan yang notabene tidak mendapat pengawasan intensif orang tua. Mereka, termasuk diri ini, akan lebih bebas untuk pulang larut malam.
Saya teringat nasehat seorang saudara yang mengingatkan ancaman fitnah di malam hari, namun saya meyakinkan bahwa saya akan baik-baik saja. Lantas, beliau mengondisikan saya untuk membayangkan jika orang tua kita mengetahui kita, putri kesayangannya, pulang larut malam. Akan ridakah mereka? Tentu tidak. Mereka akan sangat khawatir jika putrinya belum pulang ketika malam beranjak larut. Kita hanya akan menyiksa mereka dalam kecemasan. Lalu, jika orang tua pun tidak rida, bagaimana dengan Allah? Sementara “rida Allah bergantung pada rida orang tua, dan kemurkaan Allah bergantung pada kemurkaan orang tua” (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim). Jika Allah tidak rida, berarti sia-sia saja apa yang telah dan akan kita lakukan.
Jika kita yakin bahwa dua fitnah yang dipaparkan di atas akan jauh dari kita, sehingga merasa saah saja pulang malam, jangan lupakan juga bahwa kita memiliki dan harus menjaga izzah sebagai muslimah. Selain itu, pertimbangkan pula keridaan orang tua atas apa yang kita lakukan, sebab rida Allah bergantung pada rida mereka.
Sebaiknya, kita lebih selektif lagi dalam mengikuti kegiatan yang selesai di malam hari. Apalagi jika kita pergi tanpa mahrom. Semoga pemikiran dengan bahasa sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita. Menjadi renungan bagi diri sendiri dan kita semua, akhwat yang terjaga izzahnya. Wallahoa’lam bishowab.

http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/akhwat-dilarang-pulang-malam.htm#.UXYxu47elaE

Rabu, 10 April 2013

Karena dengannya Aku Tenang



Awal tahun sebelum saya memutuskan sekolah mana yang akan saya tuju untuk melanjutkan studi setelah lulus sekolah menengah pertama, saya bertekad untuk melepas kerudung yang telah 2,5 tahun saya pakai. Ya, fix saya tanggalkan, sejak pertama kali saya tiba di pulau Celebes ini setelah terbang jauh dari pulau berbentuk burung di ujung timur. Berkilo meter jarak terpisah membuat saya semakin mantap untuk menanggalkannya. "Tiada teman yang kenal saya di sini”, lirihku menenangkan diri.
Malam itu tanggal 2 Juli 2004, sehari setelah usiaku genap 15 tahun. Angin semilir menyambutku dengan uraian rambut yang hari ini bebas tersibak angin. Beda dari suasana biasanya. Pakaianku pun hanya selengan dengan celana yang melengkapi styleku yang hanya sebetis.
Akhirnya setelah sebulan sibuk ikut ujian beberapa sekolah menengah atas untuk melanjutkan studiku, saya memilih untuk masuk di salah satu sekolah kejuruan yang cukup ternama dengan tingkat kesulitan seleksi masuk yang cukup tinggi dibanding sekolah lain yang saya ikuti ujiannya.
Awal masuk sekolah cukup menyenangkan dengan berbagai teman baru yang saya temui. Sangat berbeda dengan sekolah yang ada di daerah saya, di sekolah ini semua fasilitasnya lengkap. Bahkan ada masjidnya, sehingga semua murid dan guru bisa melaksanakan ibadah shalat tepat waktu dan secara berjamaah. Namun, satu cerita yang entahlah bagaimana perasaanku saat itu. Saat pelajaran agama, saya disangka tidak beragama muslim. Ssrrr, sedesir angin yang membuat sesak melewati dadaku.
Mungkin sebagian orang akan menyangka saya galau, sebagian lainnya tidak peduli, bahkan sebagian lainnya sangat mendukung dengan keputusan saya. Sahabat saya memang sebagian besar adalah non muslim, kalaupun muslim mereka juga tidak faham dengan hijab apalagi menggunakannya, pastinya tidak.

*****
Pertengahan Desember 2001 saya memutuskan menggunakan kerudung. Syok, saya syok abis. Besar dengan lingkungan yang kurang mengajarkan nilai – nilai keislaman, saya sebelumnya mengambil kesimpulan bahwa kerudung hanya sekedar kebudayaan orang Arab yang kebetulan Islam berpusat di sana. Argumen saya bukan karena tanpa alasan, sebab keluarga saya yang sudah berhaji bahkan sepupu saya yang menyelesaikan studi di pesantren tidak menggunakan hijab setelahnya. Bukan, bukan berarti karena keluarga saya tidak sama sekali menginternalisasikan nilai – nilai keislaman. Belajar baca Alquran adalah satu kewajiban dengan prioritas tinggi yang dicanangkan ibuku, meskipun ibuku tidak begitu menjalankan perintah agama dengan benar. Ayahku dikenal dengan ahli ibadah, beliau tidak pernah meninggalkan shalat tepat waktunya bahkan beliau selalu menutup toko di waktu shalat dan tidak meminta orang lain untuk menjaga.
Saya tahu bahwa muslimah wajib berhijab dari pemaparan materi pesantren kilat I se-kabupaten yang diadakan di daerah saya. Ya sekabupaten, karena sedikitnya jumlah kami yang muslim sehingga siswa SMP dan SMA digabung. Bahkan yang saya tangkap, hijab di dalam Islam itu bukan membungkus tapi menutup. Sejak hari itu saya bertekad untuk menjalankan salah satu kewajiban sebagai seorang muslimah tersebut.
Hati – hati saya menyampaikan niat saya itu kepada ibu, di luar dugaan beliau membolehkan. Masih dengan sikap dinginnya, permintaan saya hanya dibalas dengan kalimat, “yang penting kalo udah di pake, ga di lepas – lepas lagi”. Segera saya meluncur ke penjahit yang tempatnya hanya berselang dua rumah dari rumah saya. Hal ini harus saya pastikan, untuk baju dan rok saya selesai dikerjakan maksimal sehari sebelum masuk sekolah setelah liburan lebaran, natal, dan tahun baru. Saya juga ingat dengan baik di minggu pertama sebelum masuk sekolah saya menggunakan celana panjang dan jaket yang sama ketika keluar rumah karena cuma itu satu – satunya yang bisa menutup auratku pada waktu itu.
Ada beberapa teman yang juga tercerahkan dan berniat untuk menggunakan hijab setelah pemaparan ustad di pesantren kilat itu, dan dengan omongan ringan saat pulang bersama kami bersepakat untuk masuk sekolah dengan tampilan baru. Di hari pertama sekolah, semua orang cukup gempar dengan tampilan saya. Namun, saya juga agak sedih karena hampir semua orang yang bersepakat dengan tampilan syar’inya menangguhkannya dengan berbagai alasan. But, so far it’s no problem for me.
“Kamu kok pake itu?”, tanya guru kesenianku yang memang cukup dekat denganku sambil menunjuk ke arah kerudungku. Dengan senyum simpul saya menjawab, “hm, ini hal yang diwajibkan oleh agamaku bu”, seraya berlalu di hadapannya. Walaupun sempat tercetus dari mulut beliau, "lebih cantik kalau tidak pake 'itu'". Ya, saya merasakan diri saya yang baru. Belum pernah saya merasa bebas seperti ini sebelumnya. Dan ternyata setelah zaman orde baru yang tidak membolehkan penggunaan kerudung di sekolah, saya termasuk orang pertama yang menggunakannya di sekolahku dimana muslim merupakan minoritas.

*****
Ingatan di atas terus bergelayut setelah genap 4 bulan saya tidak menggunakannya lagi. Ternyata persepsi saya bahwa dengan melepaskan kerudung, orang tidak sewenang – wenang menjudge kerudung saya buruk berdasarkan keburukan pribadi saya, tidak serta merta membuat saya merasa nyaman dan aman. Saya melihat semua orang yang dekat dengan saya, semua yang memberi perhatian kepada saya, bahkan semua yang menobatkan diri mereka sebagai sahabat saya hanya melihat saya sebatas tampilan dan materi yang saya miliki. Dan parahnya, banyak teman – teman lelaki yang tidak segan secara vulgar mendekati saya, yang tidak pernah saya rasakan ketika saya menggunakan kerudung, dan semua hal tersebut benar – benar memuakkan.
Saya merasa benar – benar telah berbelok ke haluan yang menyimpang dari seharusnya. Saya menangis sejadi – jadinya dengan kebodohan yang telah saya lakukan, saya benar – benar memohon ampun atas pengambilan keputusan terbodoh yang saya pernah ambil.
Di sekolah saya yang baru ini, semua ibadah saya menjadi lebih baik karena lingkungan saya yang mayoritas muslim, kecuali menggunakan hijab. Akhirnya, desember 2004 saya bertekad untuk menggunakannya kembali.  Dengan uang jajan yang sudah saya tabung, saya ke tukang jahit untuk menjahit beberapa rok untuk kebutuhan sekolah dan sehari – hari. Saya tidak meminta izin lagi kepada ibu, bahkan tidak satu pun orang saya beri tahu dengan rencana saya.
Tanggal 28 Desember 2004, tepat hari selasa setelah dua hari bencana tsunami, saya ke sekolah dengan gaya baruku. Semua gempar, hampir seperti pertama kali saya menggunakannya waktu SMP. Saya sengaja menggunakannya tidak di hari senin hanya dengan alasan 'iseng' agar saya tidak menjadi pusat perhatian di lapangan upacara. Serta merta senioritas yang memang terkenal kejam di sekolahku terhenti dengan tampilan baruku, semuanya segan. Saya jadi teringat sebuah kalimat bijak ‘Anda sopan kami pun segan’, benar – benar benar J
Harapku, dengannya Dia ridhai apa yang saya lakukan. Mengikuti syariatnya adalah suatu kebutuhanku, bukan suatu kewajiban yang memberatkan. Sehingga selalu kupinta padaNya untuk menetapkan hatiku hanya padaNya. Mencintai apa yang Dia kehendaki, membenci apa yang Dia larang, dan membenci perbuatan buruk yang pernah saya lakukan. Saya berharap, saya berdoa, saya berusaha, dan saya selalu berharap atas kemurahanNya. Semoga...
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri – istrimu, anak – anak perempuanmu, dan istri – istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS 33:59)

Sabtu, 06 April 2013

Surat Tertunda


Assalamualakum warahmatullahi wabarakatu
Ba’da tahmid, tasbih, dan shalawat…
Apa kabar al ukh yang sedang di rumah bersama sanak keluarga? Semoga terus masih berada dalam keberkahan perlindunganNya. Masih di kelilingi kenikmatan-kenikmatan yang tiada henti-hentinya dikaruniai Allah SWT pada kita.
Ketika merefresh semua kenangan lalu kita, membuat saya tidak hentinya mengucap syukur kepada Allah SWT atas nikmat ukhuwah yang diberikan kepadaku atas dipertemukannya kita. Saya sangat yakin tiada kesiaan dari peristiwa – peristiwa yang kita jalan selama kita berada di kampus.
Kini, dengan berubahnya pola gerakan dakwah kita di kampus, membuat seakan – akan semuanya bubar tanpa bekas.
Tidak seperti itu al ukh, sungguh cinta itu sudah tumbuh sejak awal kita dipertemukan, sungguh cinta itu tumbuh subur hingga berbunga entah berapa banyak kuncup yang siap bermekaran hingga saat ini, hingga detik ini. Sungguh, walaupun kadang memang cuaca tidak selalu cerah menaunginya.
Ada kalanya amanah itu menyinggapi sebagian dari kita, dan “mengistirahatkan” sebagian yang lain. Tapi apakah itu menjadi satu bentuk excuse terhadap diri kita untuk tidak melakukan apa pun??? Tentu al ukh lebih tahu, bahwa Allah menilai setiap usaha kita, bahkan yang hanya kita niatkan di dalam hati.
Saya rindu,,
Itu perasaan saya saat menulis surat ini. Entahlah, mau disebut melankolis ataupun berlebihan. Tapi, itulah adanya…
Melalui surat ini saya ingin menyampaikan: “Maafkan saya” yang selama ini ketika kita bekerja bareng, menyisakan kenangan buruk di hati al ukh.
Beginilah saya, bukan makhluk sempurna. Ada kalanya memaksa, ada kalanya mengajak, ada kalanya marah, ada kalanya meninggalkan, ada kalanya menjengkelkan, ada kalanya tidak enakan, dan segudang ada kalanya lainnya.
Semoga ini menjadi satu bentuk tadhribat Allah yang bisa saya ambil semua saripati hikmahnya, dan begitu pun dengan kalian.
Saya sebagai makhluk yang lemah ini, ingin sekali bersenyum sapa bersama kalian, ingin sekali menggenggam erat tangan itu, memeluk… Namun, kesibukan kita menjadi satu bentuk penghalang.
Tapi, selalu berada dalam doa dan harapku semoga al ukh bisa istiqomah di jalan ini. Bisa bertahan dengan karakterikstik dakwah: yang berasa tanpa ujung, berat, dan sedikit pengikutnya. Sebab bukan kesengajaan kita dulu dipilih lewat proses yang melelahkan. Bukan tanpa alasan, kita dulu berada dalam barisan dakwah yang banyak dinanti orang namun dicaci di sisi yang lain. Bukan suatu hal yang menyiakan apa yang telah kita lakukan dahulu. Seperti sudah takdirnya kita menjadi orang – orang yang terpilih itu…
Jangan pernah lelah, karena kita hanyalah pengembara di dunia yang fana ini. Rumah kita di syurga menanti kita. Jangan pernah diam, karena itu satu bentuk kedzaliman terhadap keberadaan kita yang seharusnya menjadi da’i, lingkungan kita membutuhkan seruan dakwah kita. Jangan pernah menjadi orang yang biasa – biasa saja, sebab Allah telah mengaruniai kita ilmu lebih dibanding orang yang biasa – biasa saja. Jangan pernah,,,
Hidupkanlah perasaan menyeru itu dan hiduplah bersamanya. Karena betapa tidak bersyukur dan berterima kasihnya kita wahai al ukh, di mana Rasulullah mulia SAW di penghujung usianya di dunia ini hanya terus menerus memikirkan kita, ummati, ummati, ummati. Maka balaslah kebajikan beliau, maka bersyukurlah atas segala kenikmatan-Nya. Karena kita belum merasakan apa yang saudara kita di Palestina, Bosnia, Rohingnya, Afganistan, Poso, Maluku, dan di belahan bumi lain yang dirampas hak bersyukurnya seperti apa yng bisa bebas kita lakukan saat ini. Maka bersyukurlah, bekerjalah, bersungguh – sungguhlah, dan ajaklah…
Jazakillah khairan katsiran, atas segala keberadaan, kehadiran, keutuhan kalian dalam menggenggam tali agama Allah. Semoga bisa segera berkumpul bersama di jannah-Nya, dengan amalan terbaik kita. Tetap berfastabiqul-khairat di mana pun kita saat ini berada.

Santun dalam Berdakwah



Hijrahnya Rasulullah ke Madinah setelah 13 tahun berdakwah di Mekkah disambut gembira oleh warga Madinah. Hampir-hampir semua merasakan kebahagiaan yang sama atas hijrah beliau, bahkan di antara mereka berlomba-lomba untuk memuliakan beliau. Terasa sikap buruk kaum musyrik quraish terbayar dengan sikap lapang dan penerimaan penuh atas dakwah Rasul di Madinah.
Namun, hal tersebut tidak serta merta membuat Madinah menjadi bersih dari orang-orang yang tidak menyukai dakwah. Jika di Mekkah ada orang-orang yang dengan lantang dan dengan kekuasaannya menentang dakwah Rasulullah, di Madinah ada orang-orang yang sejenis yang melabelkan dirinya sebagai muslim namun menghianati bai’atnya dengan menyebar fitnah dan melukai orang-orang beriman, kaum munafik.
Adalah seorang munafik Abdullah bin Ubay bin Salul pada perjalanan kembali ke Madinah dari perang uhud menyatakan,” Tidakkah kalian lihat, tidak ada yang lebih rakus dalam makan kecuali pada qari-qari kita ini?”. Kemudian ada yang mendengar dan melaporkan kepada Rasul, namun Rasul diam. Pada suatu ketika dalam perjalanan yang sama kembali Abdullah bin Ubay bin Salul mengeluarkan satu statement yang tidak kalah menyakitkan,” Demi Allah jika kemudian kita sudah kembali ke Madinah, orang mulia (Abdullah bin Ubay bin Salul) akan mengusir orang yang hina (Rasulullah)”. Mendengar kalimat ini, Rasulullah SAW tetap diam. Sampai kemudian beliau bertemu dengan Ubadah bin Samit (orang yang satu kabilah dengan Abdullah bin Ubay bin Salul), sehingga Ubadah melihat kesedihan di wajah Rasulullah dan bertanya kepada Rasul apa gerangan yang terjadi. Rasul mengulang perkataan Abdullah bin Ubay bin Salul kemudian ditanggapi dengan Ubadah, “Demi Allah dia benar wahai Rasulullah karena engkaulah orang mulia yang akan datang ke Madinah dan dialah orang hina yang akan dikeluarkan dari Madinah. Namun, meskipun begitu, berlemah lembutlah kepadanya, sebab dia termasuk orang yang terluka. Sebelum kedatanganmu dia disepakati oleh kaum Khazraj, Auz, Bani Quraizhoh, dan Bani Nadhir untuk menjadi pemimpin tunggal Madinah. Hampir-hampir mereka mengalungkan mahkota kepemimpinan padanya hingga engkau datang, dan hal itu tidak terjadi padanya”. Melihat dari kisah ini, dapat dipetik suatu pelajaran bahwa Abdullah bin Ubay memiliki latar belakang sakit hati kepada Rasulullah, yang berimbas pada besarnya kebenciannya terhadap dakwah.
Umar ra pada suatu ketika berkata, “Ya Rasulullah perintahkanlah kepadaku atau kepada siapapun yang Engkau inginkan untuk membunuh Abdullah bin Ubay”. Namun dengan sifat halim Rasulullah, permintaan Umar dijawab oleh Rasul: ”Wahai Umar, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang ketika tahu Rasulullah menyuruh membunuh sahabat-sahabatnya?”
Mendengar percakapan tersebut, Abdullah bin Abdillah bin Ubay anak Abdullah bin Ubay bin Salul datang menghadap Rasulullah,”Wahai Rasulullah, di Madinah ini tidak ada anak yang lebih berbakti kepada orang tuanya kecuali aku. Maka jika kau ingin membunuh ayahku, janganlah kau perintahkan kepada salah satu orang dari sahabatmu untuk membunuhnya, karena saya khawatir tidak akan tahan melihat orang yang membunuh ayah saya sehingga saya membalas dendam, dan saya takut menjadi kufur karena telah membunuh orang yang beriman. Jika kau benar-benar ingin membunuhnya, maka perintahkanlah saya”. “Adapun aku wahai Abdullah mengetahui keimananmu dan mengetahui kemunafikan pada ayahmu”, jawab Rasulullah. “Bagaimana mungkin saya memerintahkan untuk membunuh ayah sahabat saya sendiri?”, timpal Rasulullah.
Sesampainya di pintu gerbang Madinah, Abdullah bin Abdillah bin Ubay  menghunuskan pedang kepada ayahnya, hingga terheran ayahnya. “ Wahai anakku, sihir apa yang mengenaimu sehingga kau berani berbuat seperti ini kepadaku?”. Abdullah bin Abdillah bin Ubay tidak bergerak dan hanya menjawab, “Saya tidak akan membiarkanmu masuk hingga Rasulullah mengizinkanmu untuk masuk”. Melihat kejadian ini, sehingga ada sahabat yang melaporkan kepada Rasul dan membiarkan Abdullah bin Ubay untuk masuk.
Bergaul dengan orang terluka kadang-kadang merepotkan, orang terluka terkadang menjadi sangat sensitif. Orang-orang munafik yang terluka banyak tersakiti dengan semua tindak tanduk orang muslimin, meskipun yang dibawa adalah kebaikan. Diajak bersalaman sekalipun, dirasa menjadi perbuatan yang menyakitkan. Dan secara diam-diam mereka menjadi curiga kepada semua orang.
Ibarat seseorang yang sedang menyerut kayu kemudian ada serbuk kayu yang menelusup di dalam kulit jarinya, sangat sakit jika disentuh namun jika dibiarkan terus menjadi luka dan bahkan bernanah. Ketika bernanah, jangankan dipegang disentuh secara tidak sengajapun akan terasa sakit yang lebih. Begitulah keadaan orang yang terluka dan tidak memiliki hati besar untuk menerima kenyataan dan kekurangan dirinya. Hanya melihat dari satu sisi, dari orang yang dia rasa telah melukai perasaannya.
Hati-hati jika kita terluka oleh orang soleh, karena itu akan membuat kita tergelincir pada kemunafikan. Karena kadang kita memlihara nilai-nilai yang berseberangan dengan orang soleh itu jika kita memlihara kebencian tersebut.
Tidak jarang kita melihat banyak orang melihat secara negatif dakwah yang kita bawa. Padahal ketika kita telisik, kebanyakan dari mereka tidak memahami secara pasti dakwah seperti apa yang kita bawa. Tidak jarang juga sahabat-sahabat yang dulu berjuang bersama kita mengambil haluan berbeda dan menusuk sendi-sendi vital dakwah ini karena alasan tersakiti oleh seseorang atau suatu kekhilafan dari personal orang yang menjadi pejuang dakwah ini. Yang dampaknya menyakiti semua yang berada di dalam dakwah secara keseluruhan.
Apa yang dilakukan Abdullah bin Ubay sepanjang hidupnya, sangat mengganggu kelancaran jalannya dakwah di Madinah. Namun sifat Al-hilmu, kesantunan Rasulullah adalah nilai akhlak tertinggi yang beliau miliki. Rasul menjadi Halim kepada Abdullah bin Ubay, padahal dia sangat mengganggu dan membuat makar yang buruk untuk Rasulullah.
Rasulullah dengan keadaan seperti itu terus menyikapi dengan akhlak tertingginya, kesantunan. Namun jika kita berada di posisi Rasulullah sebagai aktivis dakwah, apakah kita masih menggunakan akal sehat dan terus berusaha bersikap santun? Rasul pun merasa sedih dengan perlakuan orang munafik, kitapun jika berada di posisi yang mirip dengan Rasul yang dikaitkan peran kita sebagai aktivis dakwah pasti juga merasakan kesedihan yang dalam.
Terkadang kita kurang bisa mengevaluasi diri kita atas apa yang telah kita lakukan, jangan sampai amalan dakwah kita mengaburkan niat kita yang murni. Kesantunan dalam dakwah kita harus terus kita utamakan, karena ummat mencintai Rasul tidak lain karena akhlaknya. Maka sepatutnya, kita aktivis dakwah yang mengaku mencontohi perilaku mulia Rasul sepantasnya mengedepankan akhlak kita dalam kerja-kerja dakwah kita.
Ya Allah ampunilah kami dan dosa-dosa kami dan juga orang-orang yang mendahului kami dengan iman. Dan jangan kau biarkan ada di hati kami sekedar perasaan tidak enak kepada orang-orang beriman.