Rabu, 16 Juli 2014

Kegalauan yang Dirindukan

Dewasa ini kata ‘galau’ sering digunakan untuk menggambarkan rasa yang tidak terdefinisi di dalam hati. Sebagian besar istilah tersebut digunakan para pemuda yang sedang kedatangan tanda-tanda menuju masa dewasa. Sejatinya rasa, selalu ada bersemayam di dalam hati setiap manusia. Tidak mengenal berapa usia, apa status sosialnya, berjenis kelamin apa, atau standar tertentu, semua bisa merasakan senang, sedih, marah, kecewa, dan sederet rasa lainnya. Kadang, bercampurnya rasa itu menjadi satu rasa tak terdefinisi yang banyak diwakilkan dengan kata galau.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, galau diartikan: sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran). Hal tersebut jika dihubungkan dengan rasa memperlihatkan bahwa adanya pikiran yang tidak tenang (atau kacau). Adanya keseimbangan dalam kehidupan kita, juga sedikit menjelaskan bahwa  rasa galau hadir dari kacaunya pikiran dan kebalikannya adalah tenangnya pikiran. Ketenangan pikiran, pernahkah Anda merasakan? Mungkin iya, tapi saya tidak tahu sebanyak apa…

Ketenangan merupakan fitrah kita sebagai manusia. Saya yakin, tidak satupun orang yang pernah merasakan kacaunya kehidupan tidak merindukan ketenangan. Jiwa yang tenang, nafsul mutmainnah, Allah gambarkan sebagai jiwa yang akan dipanggil untuk masuk ke dalam surgaNya kelak. Namun, apakah panggilan ‘jiwa yang tenang’ hanya akan ditemukan kelak?

Sejatinya ketenangan yang menjadi fitrah akan terus berada pada titik tuju setiap insan. Tidak banyak yang saya bisa nasihatkan kepada diri sendiri saat ini, karena kurangnya pengalaman dan mungkin rasa galau yang pernah melanda tidak sehebat rasa yang dititipkan Sang Pencipta Rasa kepada beberapa orang lainnya. Karena ketenangan tidak melulu bicara tentang tempat sunyi sepi tanpa suara. Banyak orang yang bahkan merasakan galau ketika dia sudah berada di titik puncak gunung, di titik puncak pencapaiannya, bahkan ketika di titik puncak kehidupan bahagia yang didamba selama ini. Namun tetap saja ada ketenangan di ketidak-tenangannya lingkungan, lihatlah… Lihatlah para saudaraku terkasih di Palestina, di Suriah, di Rohingya, di Mesir, di Kashmir, dan di beberapa belahan bumi lainnya yang ketika saya lihat di layar kaca, saya lihat di lembar kertas, saya dengar dari negeri mereka, yang menggambarkan kekacauan kondisi mereka, ternyata mereka menemukan ketengan di sana. Ketenangan atas janji bahwa mereka tidak lama lagi akan bertemu dengan Sang Pemberi jiwa yang tenang.

Jika seperti ini, saya pribadi merasa mesti merasakan galau itu saat ini. Di ketenangannya keadaan, dinamika kehidupan yang nyaris berada pada garis lurus, tercukupinya segala sesuatunya namun tidak meningkatnya produktifitas ibadah dan segala bentuk aktualisasi diri sebagai seorang hamba. Saya rasa inilah waktunya saya mesti galau. Kenapa masih bisa tenang? Mestinya ketenangan itu tidak pada mata yang lapang dan perut yang kenyang, dipenuhi kosongnya jiwa. Ketenangan itu mestinya berada pada kedalaman hati yang hanya pemilik hakikinya-lah yang dapat menyentuh untuk memutar tuas dan mengarahkannya pada ketenangan yang hakiki.

Bilakah ketenangan jiwa itu hadir, kuharap siap menerimanya hingga pantaslah saya bersanding dengannya. Bilakah ketenangan jiwa itu menyapa, kuharap siap menjamunya dengan segala macam kudapannya. Bilakah ketenangan jiwa itu hendak pergi, kuharap siap memegang rantainya agar siap kuikat kuat dengan hatiku. Bilakah ketenangan jiwa itu berpaling, kuharap Dia masih menyisakan sedikit rasa iba agar bisa kembali memberiku sedikit rasanya. Bilakah ketenangan jiwa itu bersamaku, kuharap kusiap bersamaNya di tempat yang Dia janjikan dengan segenap ridhaNya. Bilakah…

dari kegalauan yang kurindukan menuju ketenangan jiwa yang hakiki,
Depok, 17 Juli 2014
12.02 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar