Dalam setiap hadits saat ini selalu diawali dengan
bab niat. Meskipun niat ini bukan hadits utama yang disampaikan oleh
Rasulullah, namun para ulama bersepakat niat ini yang mengawali segala amalan
kita. Niat saja tidak cukup, dijelaskan pula bahwa ikhlas dalam niat merupakan
syarat diterimanya amal.
Melakukan keikhlasan, tidaklah semudah
mengatakannya. Sebagaimana pernah diakui oleh seorang ulama besar Sufyan
ats-Tsauri, beliau berkata, “Tidak ada suatu perkara yang paling berat bagiku
untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah
terhadapku.”
Ikhlas merupakan suatu ilmu, bukan kebiasaan.
Sehingga bisa saja dia dilakukan oleh siapapun. Tidak bergantung pada perangai
ataupun kebiasaan orang. Sehingga ikhlas bukan sekedar pilihan, tapi adalah
suatu perkara sifat yang menempel pada diri seseorang yang diasah dengan
pemahaman dan kebiasaan.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Memang benar, ikhlas adalah rahasia, rahasia dalam
hati masing-masing insan. Dan ikhlas adalah rahasia dari rahasia yang teramat
lembut, sehingga samar dari dugaan semua yang hidup. Begitu samar dan
tersembunyi, sehingga sulit bagi diri seseorang atau orang lain untuk mengukur
kemurniannya. Dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan:
“Keikhlasan adalah rahasia yang diambil dari
rahasia-rahasia-Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati sanubari
hamba-hamba-Ku yang Aku Cinta.” (HR. al-Qazwaini)
Hasan al-Banna pernah berkata tentang makna ikhlas,
“Ikhlas adalah seorang saudara muslim yang bermaksud dengan kata-katanya,
amalnya, dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Allah, untuk mencari ridha Allah
dan balasan yang baik dari Allah dengan tanpa melihat kepada keuntungan,
bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan, atau kemunduran. Dengan demikian ia menjadi
tentara aqidah dan fikrah dan bukan tentara keinginan atau manfaat.”
Definisi ikhlas ini memang dimaknai cukup banyak
oleh alim. Banyak di antara kita melihat keikhlasan adalah suatu bentuk
perilaku di mana pelaksanaannya jika kita benar – benar rela. Namun, ikhlas
juga dapat dimaknai dengan menjalankan perintah Allah karena sebab taat dan
takwa meskipun berat melaksanakannya. Jadi, tidak selamanya ikhlas itu harus
dengan rela dan mudah dilaksanakan.
Salah satu sebab jauhnya diri kita dari ikhlas
ialah sifat ‘ujub, sifat berbangga diri yang berlebihan, dan menganggap
orang lain tidak lebih baik dari diri kita. Sifat ini yang sering muncul tanpa
kita sadari, yang mampu merobek-robek keikhlasan dalam diri kita. Ia yang mampu
menodai kemurnian ikhlas dalam hati dan ia yang mampu mengotori hati dengan
lendir-lendir kenistaan.
Tentunya kita tidak ingin, keikhlasan yang ada di
dalam hati ini, keikhlasan yang selalu kita jaga ini, ternodai dan bahkan
terkotori. Dan hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga keikhlasan adalah
dengan menghapus sifat ‘ujub itu dari dalam hati, membuangnya jauh-jauh
tanpa tersisa. Dimulai dengan hal yang kecil dan sederhana, yaitu anggaplah
orang lain lebih baik daripada diri kita, anggaplah ia lebih mulia di sisi
Allah.
Jikalau kita melihat seseorang yang lebih muda
daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Anak ini masih muda usianya, belum
banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah, sedangkan aku yang sudah lebih
tua darinya tentu telah banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah. Maka
tiada keraguan lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah.”
Jikalau kita melihat seseorang yang lebih tua
daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Orang tua ini sudah beribadah
kepada Allah lebih dahulu daripada aku, maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih
banyak pahalanya, lebih mulia daripada aku di sisi Allah.”
Manakala kita melihat orang alim, maka hendaklah
kita berkata, “Orang alim ini telah dikaruniakan kepadanya bermacam-macam
pemberian ilmu yang tidak dikaruniakan kepadaku. Ia telah sampai ke martabat
yang aku tak sampai kepadanya, dan ia mengetahui berbagai masalah yang tak aku
ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya sedangkan diriku masih bergelimang
dengan dosa dan maksiat?”
Bila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah
kita berkata, “Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan
kejahilannya, tetapi aku berbuat maksiat dengan ilmuku, dengan kesadaranku,
maka bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah nanti?”
Saat kita menyaksikan orang fasik atau ahli
maksiat, maka hendaklah kita berkata, “Benar orang ini jasadnya bergelimang
dalam kemaksiatan dan dosa, tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya hatinya
selalu benci pada kemaksiatan yang ia lakukan, dan bersamaan dengan itu ia
tetap mengagungkan Tuhannya. Terbuka kemungkinan suatu saat nanti ia bertaubat
dan menyesali perbuatannya, lalu ia melakukan amal shalih yang nilainya lebih
tinggi di mata Allah daripada aku. Sedangkan aku sendiri sampai saat ini dan
nanti, tidak pernah tahu apakah ketaatanku itu diterima oleh Allah atau tidak.
Dan aku juga tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku esok
hari.”
Di kala kita melihat orang kafir, maka hendaklah
kita berkata, “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman,
memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan
aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhir hayat dan
mendapatkan husnul khatimah?”
Pertanyaan seperti ini bukan mengada-ada, tapi
pasti dan yakin. Karena jika kita bertanya, siapakah yang dapat memastikan
kalau kita dapat menjaga keimanan ini hingga akhir hayat, lalu kita memperoleh husnul
khatimah? Siapa yang bisa tahu secara pasti kalau dirinya pasti diampuni
oleh Allah? Siapakah yang dapat menjamin kalau diri kita pasti selamat di
akhirat? Semua itu adalah rahasia Allah, yang tiada seorang pun yang dapat mengetahuinya.
Bahkan beliau, Rasulullah SAW berkata:
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan padamu, bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah kamu
tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’aam: 50)
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-‘Araaf: 188)
—
Referensi: Mahmud Ahmad
Mustafa, Dahsyatnya Ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar