Jumat, 27 Juni 2014

Dia

Rasa rindu entah kenapa mendera begitu dalam. 14 tahun sudah berlalu, sebulan lagi. Suara khasnya yang memanggilku, wajahnya yang penuh dengan senyuman, pelukan sayangnya, kecupan di pipi dan kening yang menjadi ritual pagi hari, begitu dekat terasa. Seakan dia berada di hadapanku ketika kututup mataku sejenak. Seakan melihat ke arahku, tersenyum simpul. Selalu menjadi melankolis ketika mengingatnya...

Kuingat saat 50.000 uang kuambil dari lemari ibuku tanpa sepengatahuannya membuatku dimarahi sepanjang hari hingga dipukul. Tangisku tidak cukup membuatnya iba, sepanjang hari hingga tak pernah lagi berani ku mengambil sesuatu tanpa meminta ijin sebelumnya. Berbeda dengan ibuku, dia hanya terdiam melihatku di malam itu. Mataku yang bengkak hanya dapat tertunduk malu, "pasti ini adalah hal yang paling memalukan", batinku. Dia tidak memarahiku apalagi memukulku. Kuingat, sangat jelas dia hanya menceritakan sebuah kisah di zaman Nabi Muhammad tentang seorang sahabat yang diamanahkan untuk menjaga domba yang banyak. Saking banyaknya sampai pemiliknya pun pasti tidak tahu persis ada berapa banyak, ketika ada seorang yang berniat membelinya dia enggan menjual. Meskipun si calon pembeli mengatakan, "pasti tuanmu tidak tau, juallah satu untukku dan kau akan mendapat keuntungan". Namun si penggembala domba hanya menggeleng dan menjawab, "tuanku mungkin tidak tahu, tapi Tuhanku pasti tahu". Kisah ini di malam itu tidak membuatku terluka, namun tangisku serasa lebih kencang akibat sakit yang kutahan di siangnya. Dialah bapak, selalu begitu. Tidak lama aku bersamanya, namun dia selalu membuat bekas di setiap catatan hidupku.

Kuingat ketika siang itu aku merengek meminta dibelikan sebuah baju. Tidak seperti biasanya, keinginanku kali ini ditolaknya. Aku hanya diam, tapi sesampainya di rumah aku enggan berbicara. Dia tahu, dia tahu kalau aku ngambek. Besoknya aku pergi kembali ke toko baju tersebut meskipun dia sebenarnya tidak sepenuh hati membelikanku karena tidak berkenan dengan model bajunya. Dialah bapak, yang selalu membuatku serasa seorang putri yang tidak boleh ditantang keinginannya.

Kuingat beberapa waktu kami ditinggal ibu yang sibuk dengan beberapa acara keluarga di kampung halamannya. Kami di rumah hanya bertiga, aku, adik, dan dia. Aku jadi banyak belajar masak, semua masakannya jauh lebih enak dari makanan sehari-hari yang selama ini disediakan ibu. Dia mengenalkanku segala jenis ikan, meskipun sampai sekarang aku tidak bisa menghafal nama-nama ikan tersebut, tapi aku tahu persis jenis ikan mana yang enak dijadikan untuk dimasak dengan caranya masing-masing. Dia juga mengajarkanku bagaimana membuat es lilin yang enak. Dialah bapak, selalu saja membuatku takjub.

Kuingat saat kelas 1 SD berlalu dan aku belum juga bisa membaca. Sepulang dari diterimanya rapor siang itu, ibu mengeluh kepadanya tentang apa yang disampaikan wali kelasku. Dia hanya diam. Malam itu dia memintaku untuk belajar bersamanya, namun tidak seperti biasanya... Aku harus menahan kantuk bahkan sampai hilang rasa kantukku karena aku tidak diperbolehkan tidur sampai aku bisa menyambungkan ejaan yang sudah kukuasai. Akhirnya berakhir dengan keluarnya air mataku. Ajaib, besok paginya aku sudah bisa membaca dan sejak saat itu membaca adalah salah satu hal yang kusenangi selain memasak. Dialah bapak, keras di tempat yang tidak pernah kuduga. Keras untuk masalah pelajaran, namun sangat lembut hatinya.

Kuingat setiap siang hari datang sepulang sekolah kala itu, aku selalu ingin ikut bersamanya ke Bank Exim. Aku selalu suka dengan pegawai bank nya yang ramah, aku selalu senang ketika melihat meja tinggi yang mengahalangi penglihatanku bisa kuraih dengan sedikit raihan tangannya yang mengangkatku untuk melihat pegawai menghitung uang yang selalu sudah rapi. Kadang aku sendiri yang disuruh pergi dengan membawa berjuta-juta uang dengan kantong kresek hitam. Malam hari sebelum ke bank dia akan merapikan semua uang itu dari pecahan Rp100 hingga Rp50.000, tidak akan kau temukan sekecilpun lipatan dari uang yang dirapihkannya. Lirihnya, agar pegawai bank mudah menghitung uangnya. Ah, dia bahkan selalu memperhatikan kemudahan pekerjaan orang lain. Sejak itu, aku lihai dalam merapikan uang, membuat catatan pembukuan, dan senang dengan hal yang berhubungan dengan uang. Di masa-masa kemudian aku sering diamanahi sebagai bendahara dan ketua koperasi. Dialah bapak, darinya kupelajari semangat bekerja dan bagaimana memaknai uang.

Kuingat setiap pulang ke kampung, semua orang akan berkumpul di rumah nenek, hampir semua ibu-ibu dan anak-anak. Dia akan membagi-bagikan uang, semua orang menjadi senang. Bahkan dia selalu mendahulukan untuk berkunjung ke orang tua ibuku dibanding ke orang tuanya sendiri. Dia selalu membawa beberapa bahan pokok dari toko kami di Wamena, padahal di kampung ibuku juga banyak. Ah, selau tidak bisa kupahami saat itu, mengapa dia begitu baik pada semua orang? Semua orang menyayanginya. Dialah bapak, yang mengajarkanku tanpa kata bagaimana rasanya nikmat berbagi.

Kuingat setiap adzan berkumandang, tak satupun shalat lalai darinya. Dia bahkan menutup kiosnya kala pelanggan ramai tak jadi soal, dia bersegera menghadap panggilan Tuhannya. Bahkan di saat kolesterol membuat kakinya tak sanggup bergerak, dia meminta dibawakan segayung air dan baskom untuk berwudhu. Ah bukan segayung, tapi dua gayung. Segayung lagi dipakainya untuk sikat gigi. Dialah bapak, sepeninggalnya baru kuikuti rajin shalat dan sikat giginya. Walaupun ku tahu, belum bisa menyamai semangatnya. Dialah bapak, yang tidak pernah memaksa dan hanya mengajak, tapi kutahu itu pasti dari dalam hatinya.

Kuingat ketika aktivitas mengaji sore sudah menjadi membosankan, dia menawarkan mengajarkan aku dan adikku untuk mengaji setelah shalat maghrib bersama kami. Kuingat, aku dan adikku akan berlomba untuk lebih dulu agar bisa menonton setelah itu. Sekali aku melewati satu lembar untuk mempercepat waktuku mengaji, tak kusangka dia hafal dan tahu kalau aku melewati satu lembar. Dengan rendah hatinya dia menugurku dan menyangka aku kelebihan selembar dalam membuka halaman berikutnya. Dialah bapak, yang selalu membuatku bangga.

Kuingat dibersamanya kami menonton acara televisi yang dia favoritkan, yaitu berita, aku tidak akan berhenti bertanya tentang kosa kata yang baru kudengar sepanjang hidupku. Dia bisa menjelaskan dengan mudah kepadaku. Kuingat di malam tahun baru kala itu selalu dibicarakan tentang alien, dikebingunganku aku mengajaknya untuk berdiskusi. Kebiasaan kami pada malam tahun baru sama saja dengan malam-malam yang lain, paling spesial dia akan mengijinkan kami untuk menyewa kaset dan menonton film bersama. Di malam yang bising dengan petasan itu, aku duduk bersamanya di dalam kamar dan mempertanyakan perihal alien. Dia hanya menjawab, "bapak tidak tahu, tapi di dalam Alquran disebutkan ada makhluk lain selain manusia dan jin dan semuanya hanya menyembah Allah, berbeda dengan manusia dan jin", dengan ketidakmengertianku yang banyak pada saat itu minimal aku mendapatkan jawabanku. Dialah bapak, dia tahu segalanya menurutku.

Kuingat ketika pagi datang, ini adalah saat-saat yang sangat kunantikan.Walaupun mataku sudah tidak bisa terpejam, akan kusengaja menutupnya hingga dia datang membangunkanku dengan lembut, hingga dia menyibak bantal atau selimut yang sengaja kupakai untuk menutup wajahku. Kutunggu hingga dia menarikku dengan mesra dan berkata air mandinya nanti keburu dingin. Aku dan adikku akan berebut selimut lagi setelah dari kamar mandi dan akan beranjak setelah wangi sarapan yang disediakannya telah menggoda penciuman kami. Dialah bapak, selalu membuatku bisa manja dengannya.

Kuingat di suatu malam ketika kami sekeluarga selepas bersilaturahim ke rumah tante, aku dan adikku berakhir dengan pertengkaran mic yang hanya dua sementara kami sudah bertiga pada saat itu dan semuanya ingin karaokean, hingga akhirnya kami dipaksa tidur oleh ibu. Belum bisa terpejam mataku, sayup-sayup kudengar seorang perempuan meminta tolong. Ternyata warna merah dengan efek panasnya telah besar membumbung tepat di sebelah rumah kami, kebakaran. Belum kulihat sosoknya, namun kepanikanku meninggi. Hingga aku, adik lelaki, adik bayi, dan ibu juga pengasuhku waktu itu sudah selamat belum kulihat dia. Ibu memperhatikan kami, dan seperti terlihat janggal, ada adik perempuanku yang belum ada. Ibu memaksa masuk ke dalam besarnya merah itu, polisi tidak sanggup menghalanginya hingga akhirnya berhasil membawa keluar adik perempuanku. Tangisnya pecah, karena baru terbangun setelah keluar dari rumah itu dan kaget melihat bentuknya yang sudah berbeda. Masih belum kulihat dia,,, ternyata dia masih mengusahakan ibu tetanggaku yang terjebak dalam rumah mereka. Ibu menyalahkan dia yang lebih mendahulukan orang lain dibanding adik perempuanku, tapi kutahu bukan begitu maksudnya. Tetanggaku hanya berdua bersama ibunya, yang lain sedang mengadakan perjalanan dan tetanggaku itu keduanya perempua. Aku tahu dia yakin ibu bisa membawa kami semua di tempat yang aman. Dialah bapak, yang selalu mengajarkanku akan peentingnya hidup bukan hanya hidup sendir namun juga hidup orang lain.

Kuingat suatu malam ketika keberadaanku jauh darinya, ramai orang dengan suara tidak jelas namun berisik di ruang luar. Aku hendak berdiri namun sepupuku menyuruhku kembali tidur. Tidak ada rasa yang aneh, namun ini tidak biasa terjadi kukira ada tamu yang tidak kukenal datang menginap sehingga selarut itu belum tidur. Kurebahkan kembali badanku, namun seketika dering telepon tepat di atasku membuatku kembali berdiri, dengan cekatan telpon itu sudah berada di genggaman tanganku. Baru kusapa dengan "halo", tiba-tiba suara seorang perempuan dengan terisak menyuruhku untuk bersabar, "bapakmu meninggal". Hatiku tiba-tiba hampa, tiada linangan air dari mataku, hanya nelangsa terasa. Dengan cepat sepupuku meraih gagang telpon, berbicara dengan tanteku yang ada di ujung telpon yang lain, menutupnya dan segera memeluk tubuh kecilku. Sepekan lagi EBTANAS, aku bergegas pagi itu ke rumah temanku untuk berkenan memintakan ijin atas ketidakhadiranku. Masih tak ada tangis, hingga temanku bingung. Aku tahu aku sedih, tapi dia selalu mengajariku untuk menjadi perempuan kuat yang tegar. Aku sadar itulah waktu di mana tak akan kudapati dia dengan segenap ingatanku tentangnya. Dialah bapak, bapak yang selalu kuharapkan seperti dialah mestinya seorang lelaki.

Kuingat, kuingat, kuingat, sekelebat kisah romantis, segunung kisah sulit kami, sedalam kebahagiaan yang diusahakannya. Tapi dia selalu berhasil menyentuh di hatiku, dia selalu berhasi membuatku bangga akan adanya, dia selalu menjadi alasanku untuk terus berjuang. Dia mengenalkanku pada Tuhanku bahkan setelah lama di ketiadaannya. Alhamdulillah aku tahu maksudnya, aku tahu apa yang diinginkannya. Sesesak dada rasaku saat ini, sehangat air yang keluar tiap bulir dari mataku, teriring doa semoga Allah menjaganya di alam barzakh, melapangkan kuburnya, dan memberikan kebaikan atasnya. Dialah bapak, kubangga atasnya. Dialah bapak, yang selalu kuharap dapat bertemu dan tinggal bersamanya kelak di surgaNya.

Deminya akan terus kuusahakan menjadi seorang anak yang solihah, agar doa-doaku bisa menjadi tabungan amal untuknya kelak di hari pembalasan. Deminya akan selalu kuusahakan menasihati ibu dan membersamainya, karena kutahu betapa dalam cintanya pada ibu walaupun tidak bisa ibu dibandingkan dengan kualitas bapak. Deminya akan selalu kuusahkan menjadi teladan untuk adik-adikku, tak peduli seberapa perih, tak peduli seberapa banyak egoku yang mesti kuturunkan bahkan kucabut, karena kutahu betapa beruntungnya waktuku dulu lebih banyak bersamanya dibanding adik-adikku, ingin kuceritakan kepada mereka bahwa betapa sayangnya dia kepada kalian. Dialah bapak, bapakku sayang.

14 tahun berlalu, namun 11 tahun bersamanya lebih terasa dibanding keberlaluan waktu yang telah lewat. Rabb, sayangi dia. Rabb, lindungilah dia. Rabb, berikan tempat terbaik untuknya di sisiMu. Dialah bapak...

Di riak-ramai gemuruhnya hatiku, di tenangnya ruanganku
Depok, 27 Juni 2014
17.04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar