Dewasa ini kata ‘galau’
sering digunakan untuk menggambarkan rasa yang tidak terdefinisi di dalam hati.
Sebagian besar istilah tersebut digunakan para pemuda yang sedang kedatangan
tanda-tanda menuju masa dewasa. Sejatinya rasa, selalu ada bersemayam di dalam
hati setiap manusia. Tidak mengenal berapa usia, apa status sosialnya, berjenis
kelamin apa, atau standar tertentu, semua bisa merasakan senang, sedih, marah,
kecewa, dan sederet rasa lainnya. Kadang, bercampurnya rasa itu menjadi satu
rasa tak terdefinisi yang banyak diwakilkan dengan kata galau.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
galau diartikan: sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan
(pikiran). Hal tersebut jika dihubungkan dengan rasa memperlihatkan bahwa adanya
pikiran yang tidak tenang (atau kacau). Adanya keseimbangan dalam kehidupan
kita, juga sedikit menjelaskan bahwa rasa
galau hadir dari kacaunya pikiran dan kebalikannya adalah tenangnya pikiran.
Ketenangan pikiran, pernahkah Anda merasakan? Mungkin iya, tapi saya tidak tahu
sebanyak apa…
Ketenangan merupakan
fitrah kita sebagai manusia. Saya yakin, tidak satupun orang yang pernah
merasakan kacaunya kehidupan tidak merindukan ketenangan. Jiwa yang tenang, nafsul mutmainnah, Allah gambarkan
sebagai jiwa yang akan dipanggil untuk masuk ke dalam surgaNya kelak. Namun,
apakah panggilan ‘jiwa yang tenang’ hanya akan ditemukan kelak?
Sejatinya ketenangan yang
menjadi fitrah akan terus berada pada titik tuju setiap insan. Tidak banyak
yang saya bisa nasihatkan kepada diri sendiri saat ini, karena kurangnya
pengalaman dan mungkin rasa galau yang pernah melanda tidak sehebat rasa yang
dititipkan Sang Pencipta Rasa kepada beberapa orang lainnya. Karena ketenangan
tidak melulu bicara tentang tempat sunyi sepi tanpa suara. Banyak orang yang
bahkan merasakan galau ketika dia sudah berada di titik puncak gunung, di titik
puncak pencapaiannya, bahkan ketika di titik puncak kehidupan bahagia yang
didamba selama ini. Namun tetap saja ada ketenangan di ketidak-tenangannya
lingkungan, lihatlah… Lihatlah para saudaraku terkasih di Palestina, di Suriah,
di Rohingya, di Mesir, di Kashmir, dan di beberapa belahan bumi lainnya yang
ketika saya lihat di layar kaca, saya lihat di lembar kertas, saya dengar dari
negeri mereka, yang menggambarkan kekacauan kondisi mereka, ternyata mereka
menemukan ketengan di sana. Ketenangan atas janji bahwa mereka tidak lama lagi
akan bertemu dengan Sang Pemberi jiwa yang tenang.
Jika seperti ini, saya
pribadi merasa mesti merasakan galau itu saat ini. Di ketenangannya keadaan,
dinamika kehidupan yang nyaris berada pada garis lurus, tercukupinya segala
sesuatunya namun tidak meningkatnya produktifitas ibadah dan segala bentuk
aktualisasi diri sebagai seorang hamba. Saya rasa inilah waktunya saya mesti
galau. Kenapa masih bisa tenang? Mestinya ketenangan itu tidak pada mata yang
lapang dan perut yang kenyang, dipenuhi kosongnya jiwa. Ketenangan itu mestinya
berada pada kedalaman hati yang hanya pemilik hakikinya-lah yang dapat
menyentuh untuk memutar tuas dan mengarahkannya pada ketenangan yang hakiki.
Bilakah ketenangan jiwa
itu hadir, kuharap siap menerimanya hingga pantaslah saya bersanding dengannya.
Bilakah ketenangan jiwa itu menyapa, kuharap siap menjamunya dengan segala
macam kudapannya. Bilakah ketenangan jiwa itu hendak pergi, kuharap siap
memegang rantainya agar siap kuikat kuat dengan hatiku. Bilakah ketenangan jiwa
itu berpaling, kuharap Dia masih menyisakan sedikit rasa iba agar bisa kembali
memberiku sedikit rasanya. Bilakah ketenangan jiwa itu bersamaku, kuharap kusiap
bersamaNya di tempat yang Dia janjikan dengan segenap ridhaNya. Bilakah…
dari kegalauan yang kurindukan menuju ketenangan jiwa yang hakiki,
Depok, 17 Juli 2014
12.02 AM