Rabu, 13 April 2011

Merajut harapan dengan sekarung plastik


Tubuh kuyu kecil miliknya tidak menampakkan keletihan sedikitpun. Hanya sesekali melirik, apa gerangan yang ditunggu orang-orang itu? Enak kah? Sepertinya itu bergejolak menari di benaknya. Untuk makan hari ini pun dia sudah bersyukur mendapat sepiring nasi dengan lauk sayur seadanya.

Dari lampu merah Juanda sampai Gapura Selamat Datang di Kota Depok menjadi kebiasaannya tiap malam. Tak merasa lelah, tak merasa berat, tak merasa menyesal, tak merasa terpaksa atau dipaksa. Hanya satu bentuk kepeduliannya kepada kedua orang tuanya. Masih dengan tubuh kuyu kecil itu, senyumnya tak dapat kulupakan.
Setelah belajar ngaji di Umi, tepat setelah Isya, dia mulai perjalanannya tiap malam. Menelusuri jalan Margonda yang sepertinya tak pernah sepi dengan kendaraan yang hiruk pikuk dengan kebisingannya yang khas.

Malam itu, pukul 21.10, baru saja turun dari angkot 04 yang mengantarku dari Depok Timur ke Jalan Margonda Raya. Martabak Alim yang khas, membuatku selalu rindu untuk mencicipinya sesekali. Dengan setengah mengantuk menunggu pesananku, tubuh kuyu kecil itu mengais-ngais tempat sampah yang ada di depan Martabak Alim.
Tidak menampakkan wajah memelas, hanya melirik penasaran. “Bagaimana rasa makanan itu?”, bisiknya dalam hati sambil terus mengucurkan air yang masih tersisa dalam gelas-gelas plastik itu. Mataku, tak henti tertarik untuk melihatnya. Penasaran, kekuatan apa gerangan yang membuatnya bisa sekuat itu? Kekuatan apa gerangan yang membuat tubuh kecil kuyu itu dapat mengangkat onggokan plastik yang lebih besar dari tubuhnya? Hingga dia hampir berlalu....
Sadar, segera saya dekati dia. Dengan penasaran saya memberi tangan kananku dengan berseru kecil memberi tahu namaku. Dengan cekatan dia menggosok tangan kanannya di sisi celana sebelah kanannya kemudian menyambut hangat tanganku, “Pendi”. Nama yang jarang saya dengar selama berada di Depok (terdengar tidak penting, namun terlintas dalam pikirku)

Pendi tinggal di mana?”, tanyaku memulai pertanyaanku, sontak keletihan seharian ini terhempas entah ke mana. “Di seberang lampu merah juanda, Kak”, jawabnya. “Pendi sekolah gak?”, kembali melempar saya pertanyaan. Dengan pelan dia menggeleng dan menunduk. Shrrr, ada angin halus merembes ke dalam hatiku.

Saya    : “Pendi masih mau sekolah gak?
Pendi  : “Mau Kak
Saya    : “Di mana?”
Pendi  : “Di MasTer
Saya    : “Kenapa pengen sekolah di sana?”
Pendi  : “Soalnya gratis Kak
Saya    : “Trus, kok belum mulai
Pendi  : “Mau nabung dulu Kak, buat beli buku
Saya    : “Sekarang umur Pendi berapa tahun?”
Pendi  : “hampir 11 tahun kak
Saya    : “emang kalo sekarang sekolah, udah kelas berapa?”
Pendi  : “Dua tahun lalu, berhenti Kak. Mau nyusul mama ke Depok, tapi duitnya belum cukup makanya Pendi belum sekolah. Dulunya Pendi tinggal di Bogor, tapi sekarang udah 3 bulan tinggal di Depok
Saya   : ”Di Bogor tinggal sama siapa? Kenapa pindah ke Depok?”
Pendi  : “Di Bogor tinggalnya sama Abah (Kakek), pindah ke Depok ngikut mama dan bapak. Abisnya, di Bogor anak-anaknya nakal-nakal. Pendi pernah dituduh nyolong, padahal gak.”
Saya   : “Terus mama dan bapak ngapain sekarang?”
Pendi  : “Bapak kerja di ‘Bos’, di deket lapak. Ibu jaga dede’ aja di lapak
Saya   : “Pendi beneran pengen sekolah?”
Pendi  : Dengan mengengguk sigap, “Iya Kak
Saya   : “Masih punya rapor dan surat pindah gak?”
Pendi  : Dia kembali mengangguk,,,

Pembicaraan kami terputus, seorang pekerja dari Martabak Alim keluar membawa sekeranjang kaleng susu kemudian ditawarkan ke Pendi. Saya tersenyum. Setelah pekerja itu kembali ke dalam tokonya, saya kembali melempar pertanyaan, “Kenapa percaya sama saya?”. Dia menjawab dengan senyum dan menggeleng, “gak tahu kak
Yaudah, besok bawa rapor dan surat pindahnya ya. Kita ketemuan lagi di sini jam 9 malam besok, ok?”, tanyaku untuk mempertegas dan mengakhiri perbincangan singkat kami. “Iya kak”, jawabnya singkat. “Jangan lupa loh, Kakak tunggu di sini. Kamu harus dateng ya!”, kembali saya mengingatkan. Dengan semangat dia menjawab, “Iya Kak, besok Pendi datang”. “Oke”, seruku bersemangat.

Kembali masuk saya mengambil pesanan Martabak Alim-ku, terlihat sepasang pasangan melambai ke Pendi dan mengajaknya berbincang. Saya melewatinya dengan sesungging senyum dan kembali mengingatkan, “besok ya Pendi...”. Dia menoleh dan menjawab, “iya Kak”.
Sengaja saya tidak menawarkan uang ataupun makanan. Entah kenapa perasaan untuk bertemu kembali esok hari kuat menggelayuti perasaanku. (bersambung)

Di malam yang melegakan, 16.03.11

Ket:
Umi                       : guru ngaji
Abah                     : Kakek
Martabak Alim    : Salah satu toko penjual Martabak yang cukup terkenal di Depok
MasTer                : Masjid Terminal, salah satu sekolah terbuka, gratis, yang didirikan didirikan secara mandiri oleh pendirinya. Muridnya terdiri dari anak jalan, gepeng, pemulung, dan anak-anak kurang mampu (secara ekonomi). Info terakhir, MasTer juga menyabet prestasi dalam bidang kompetisi sains se-Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar