Rabu, 27 Maret 2013

Berkejaran dalam Perlombaan Besar


Realitas adanya laki-laki dan perempuan adalah salah satu sunnatullah keseimbangan, dimana kedua jenis makhluk Allah tersebut bisa saling melengkapi dan bekerja sama secara proporsional pada segala medan kehidupan. Allah SWT menyebutkan secara spesifik “laki-laki dan perempuan” yang beriman, tatkala menyebutkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar :

“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana“ (Q.S At Taubah : 71)

Ayat tersebut jelas menggambarkan peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam menunaikan dakwah. Keduanya terlibat dalam suatu sistem amal jama’i, saling menguatkan di antara mereka dalam kebaikan. Keterlibatan akhwat dalam dakwah bukanlah pada ranah tertentu, tetapi pada seluruh ranah dakwah. Akhwat muslimah adalah pelaku dakwah yang tidak dapat dipisahkan dengan laki-laki.

Dengan kondisi saat ini di mana jumlah akhwat yang aktif sebagai penggerak Dakwah Kampus UI tidak bisa dipandang sebelah mata. Kenyataannya, kita tidak dapat memaksakan kehendak, siapa yang akan bersemangat dalam dakwah dan siapa yang memilih teratur mundur. Sehingga siapapun dia, ketika dia bersegera menuju panggilan dakwah ini secara ikhlas dan bersemangat membuat dia menjadi salah satu bagian dari pergerakan kecil dakwah kita di kampus.

Teringat peran kepemimpinan bunda Aisyah ra dalam Perang Jamal yang sangat gagah, menggerakkan ribuan sahabat setia yang rela berjuang untuk mempertahankan apa yang dibawanya. Terlepas dengan siapa peperangan ini dia kobarkan, bunda Aisyah ra memberikan satu pelajaran sekaligus contoh kepemimpinan perempuan dalam Islam. Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab pun, beliau mengangkat Asy Syifa binti Abdillah Al Adawiyah sebagai pemimpin pasar yang merupakan kepemimpinan perempuan secara sektoral, bukan wilayah umum.

Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat tentang kepemimpinan perempuan, ”Adapun kepemimpinan sebagian perempuan atas laki-laki diluar lingkup keluarga, tidak ada nash yang melarangnya. Dalam hal ini yang dilarang adalah kepemimpinan umum seorang perempuan atas laki-laki.”

Pemahaman terkait kesetaraan gender yang diperdebatkan para liberalis saat ini sudah jauh terlewat kita lampaui sejak Islam hadir. Kita sudah pula mengetahui bahwa syuhadah pertama adalah seorang shahabiyah, para muslimah diberikan hak dan kesempatan laiknya kaum laki-laki: mengadu pada pemimpin, menimba ilmu dari Nabi SAW, ikut dalam medan perang, meluruskan kesalahan pemimpin, menentang penguasa dzalim, hingga peran kepemimpinan.

Perenungan atas motivasi kita dalam mengemban amanah saat ini dirasa penting untuk dilakukan. Bagaimana mungkin, kita (baik laki-laki atau perempuan) terpilih dari sekian banyak orang yang memiliki kualitas yang “lebih baik” dari kita secara penglihatan kita. Tentunya bukan karena kita jauh lebih hebat, belum tentu juga karena kita lebih salih, apalagi karena kita lebih mulia, bukan itu. Sehingga perenungan akan posisi amanah kita saat ini menurut hemat penulis berada pada tataran anugerah yang patut disyukuri. Memang bukan karena kita lebih baik tentunya, namun lebih sederhana dari itu, karena kita mencoba menjadi lebih siap dibanding yang lain dan kesempatan itu ditawarkan kepada kita oleh Allah SWT bukan kepada yang lain, lagi-lagi sekedar untuk menguji keseriusan kita dalam menjalankan perintah-Nya.

Pernahkah kita membayangkan atau merasakan kemenangan dalam suatu kompetisi yang bergengsi dengan hadiah spektakuler? Tentu, meski bukan suatu kompetisi yang besar dan keren, tiap kita pasti inginkan yang terbaik buat diri kita. Ajang penerimaan penghuni surga secara gratis alias “dijamin masuk surga” adalah bentuk kelebihan yang diberikan Allah untuk para nabi-Nya beserta para sahabat kekasih-Nya yang terpilih. Dalam riwayatnya, ada 70 orang yang dijamin masuk surga, keterangan dari riwayat tersebut juga ada beberapa perbedaan, bahkan dari 70 orang itu masih ada 70 orang lagi cabangnya. Keluar dari konteks “sekedar menginginkan surga”, jauh dari itu tiada terkecuali keridhaan dan kemurahan-Nya kelaklah yang kemudian menjadikan kita layak atau tidak pulang ke tempat yang terbaik (surga). Yang kemudian mesti kita sadari bahwa hidup adalah fungsi dari waktu. Ia terus saja berjalan, tidak ada delay.

Ketika kita menyadari itu, tidak lagi kita memperebutkan mana yang perlu saya lakukan dan mana yang harus kamu lakukan. Paradigma kita harus selaras dengan: apa yang perlu kita lakukan. Kita terus berpacu dengan waktu, kesempatan kita dalam dakwah kampus hanya 1 tahun dan belum tentu habis sesuai jatah waktunya. Namun pembuktian cinta pada-Nya tak terbatas waktu apalagi terbatas pada posisi amanah. Maka melakukan yang terbaik merupakan suatu keniscayaan.

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah:148).
“Mereka itu bergegas segera dalam meraih kebaikan. Dan merekalah orang-orang yang terdahulu memperolehnya," (Al-Mu’minun : 61).

Ketika turun ayat tentang hijab, tanpa membuang tempo para shahabiyah langsung mengambil kain-kain mereka dan melilitkan ke seluruh tubuhnya. Para shahabiyah yang berada di pasar-pasar lantas tidak langsung pulang ke rumah. Mereka memilih untuk bersembunyi di balik batu-batu besar, menunggu malam yang sepi barulah mereka pulang ke rumah. Lagi-lagi Ini adalah bukti, bahwa sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang memiliki budaya fastabiqul khairat, budaya tak mau menunggu dan selalu kompetisi dalam ketaatan.
Faktanya, kondisi kekinian dalam masyarakat kita berbeda, budaya kompetisi ini lebih digandrungi dalam ranah keduniaan. Kitapun berlomba-lomba dalam memperkaya diri, mempercantik rupa, menggagah-gagahkan sikap, mengejar jabatan, mencicil gelar demi gelar dan menumpuk atribut-atribut keduniaan lainnya. Bahkan di antara para aktivis dakwah secara tidak sadar atau bahkan sadar menjadikan amanah sebagai suatu kelebihan keduniawian belaka, marah ketika amanah itu tidak berada di tangannga. Tidak jarang pula mereka yang sudah memiliki amanah tersebut merasa memiliki peran tanpa perlu mengkoordinasikannya pada pimpinannya.
Apakah sebenarnya yang perlu kita kejar? Ke-keren-an semata kah atau sekedar decak kagum keluwesan kita dalam berpikir dan mengambil sikap? Tentu sebagai aktivis dakwah kampus kita tidak boleh melupakan bahwa kita berada dalam sistem yang mengatur kita dalam beramal jama’i. Penting untuk memposisikan diri kita sesuai tempat kita berada dan area kebijakan yang dapat kita lakukan tanpa sedikitpun menutup mata pada posisi lain para kawan kita sesama aktivis dakwah kampus lainnya. Sehingga tiada tumpang tindih, sinergitas gerak elok kita itu yang diinginkan.
"Bukanlah kefakiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti dimana yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (Bukhari dan Muslim).
Jikalaupun kita memperoleh dunia, maka teruslah melangkah sebagai orang yang dititipi amanah, berjalanlah sambil menunduk, indahkan titipan itu dengan keihklasan dan niat pengabdian kepada umat.

Tidak ada yang keliru terhadap semangat kita dalam memanen pahala maupun bersemangat dalam “mencari perhatian” Allah SWT. Tidak pula keliru semangat kita dalam memenuhi segala panggilannya. Kita hanya perlu memperhatikan di mana posisi kita dan melakukan yang terbaik yang kita bisa untuk membuktikan cinta kita pada-Nya. Karena cinta itu suatu kata kerja, yang syarat diterimanya membutuhkan pembuktian.
Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw: Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, (Al-Hadits).

Begitulah kita, tiada satu pun dari perilaku kita selain nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban yang kita pikul sendiri-sendiri di yaumil hisab kelak. Maka bagaimanakah akhir dari tiap kita? Jawabannya ada pada kita masing-masing sebagai penentunya. Buktikan dengan cinta sederhana yang kadang kompleks dipahami orang lain yang melihatnya. Ketidaksederhanaan yang dilihat orang lain atas sikap kita hanya disebabkan karena mereka belum tahu betapa indahnya gayung bersambut jika cinta kita diterima oleh-Nya. Maka teruslah bekerja untuk membuktikan pada-Nya bukan pada mereka yang sekedar mampir menonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar