Realitas adanya laki-laki dan perempuan adalah salah satu
sunnatullah keseimbangan, dimana kedua jenis makhluk Allah tersebut bisa saling
melengkapi dan bekerja sama secara proporsional pada segala medan kehidupan.
Allah SWT menyebutkan secara spesifik “laki-laki dan perempuan” yang beriman,
tatkala menyebutkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar :
“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana“
(Q.S At Taubah : 71)
Ayat tersebut jelas menggambarkan peran yang seimbang antara
laki-laki dan perempuan dalam menunaikan dakwah. Keduanya terlibat dalam suatu
sistem amal jama’i, saling menguatkan di antara mereka dalam kebaikan.
Keterlibatan akhwat dalam dakwah bukanlah pada ranah tertentu, tetapi pada
seluruh ranah dakwah. Akhwat muslimah adalah pelaku dakwah yang tidak dapat
dipisahkan dengan laki-laki.
Dengan kondisi saat ini di mana jumlah akhwat yang aktif sebagai
penggerak Dakwah Kampus UI tidak bisa dipandang sebelah mata. Kenyataannya,
kita tidak dapat memaksakan kehendak, siapa yang akan bersemangat dalam dakwah
dan siapa yang memilih teratur mundur. Sehingga siapapun dia, ketika dia
bersegera menuju panggilan dakwah ini secara ikhlas dan bersemangat membuat dia
menjadi salah satu bagian dari pergerakan kecil dakwah kita di kampus.
Teringat peran kepemimpinan bunda Aisyah ra dalam Perang Jamal
yang sangat gagah, menggerakkan ribuan sahabat setia yang rela berjuang untuk
mempertahankan apa yang dibawanya. Terlepas dengan siapa peperangan ini dia
kobarkan, bunda Aisyah ra memberikan satu pelajaran sekaligus contoh
kepemimpinan perempuan dalam Islam. Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab
pun, beliau mengangkat Asy Syifa binti Abdillah Al Adawiyah sebagai pemimpin
pasar yang merupakan kepemimpinan perempuan secara sektoral, bukan wilayah
umum.
Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat tentang kepemimpinan perempuan,
”Adapun kepemimpinan sebagian perempuan atas laki-laki diluar lingkup keluarga,
tidak ada nash yang melarangnya. Dalam hal ini yang dilarang adalah
kepemimpinan umum seorang perempuan atas laki-laki.”
Pemahaman terkait kesetaraan gender
yang diperdebatkan para liberalis saat ini sudah jauh terlewat kita lampaui
sejak Islam hadir. Kita sudah pula mengetahui bahwa syuhadah pertama adalah
seorang shahabiyah, para muslimah diberikan hak dan kesempatan laiknya kaum
laki-laki: mengadu pada pemimpin, menimba ilmu dari Nabi SAW, ikut dalam medan
perang, meluruskan kesalahan pemimpin, menentang penguasa dzalim, hingga peran
kepemimpinan.
Perenungan atas motivasi kita dalam mengemban amanah saat ini
dirasa penting untuk dilakukan. Bagaimana mungkin, kita (baik laki-laki atau
perempuan) terpilih dari sekian banyak orang yang memiliki kualitas yang “lebih
baik” dari kita secara penglihatan kita. Tentunya bukan karena kita jauh lebih
hebat, belum tentu juga karena kita lebih salih, apalagi karena kita lebih
mulia, bukan itu. Sehingga perenungan akan posisi amanah kita saat ini menurut
hemat penulis berada pada tataran anugerah yang patut disyukuri. Memang bukan
karena kita lebih baik tentunya, namun lebih sederhana dari itu, karena kita
mencoba menjadi lebih siap dibanding yang lain dan kesempatan itu ditawarkan
kepada kita oleh Allah SWT bukan kepada yang lain, lagi-lagi sekedar untuk
menguji keseriusan kita dalam menjalankan perintah-Nya.
Pernahkah kita membayangkan atau merasakan kemenangan dalam suatu
kompetisi yang bergengsi dengan hadiah spektakuler? Tentu, meski bukan suatu
kompetisi yang besar dan keren, tiap kita pasti inginkan yang terbaik buat diri
kita. Ajang penerimaan penghuni surga secara gratis alias “dijamin masuk surga”
adalah bentuk kelebihan yang diberikan Allah untuk para nabi-Nya beserta para
sahabat kekasih-Nya yang terpilih. Dalam riwayatnya, ada 70 orang yang dijamin
masuk surga, keterangan dari riwayat tersebut juga ada beberapa perbedaan,
bahkan dari 70 orang itu masih ada 70 orang lagi cabangnya. Keluar dari konteks
“sekedar menginginkan surga”, jauh dari itu tiada terkecuali keridhaan dan
kemurahan-Nya kelaklah yang kemudian menjadikan kita layak atau tidak pulang ke
tempat yang terbaik (surga). Yang kemudian mesti kita sadari bahwa hidup adalah
fungsi dari waktu. Ia terus saja berjalan, tidak ada delay.
Ketika kita menyadari itu, tidak lagi kita memperebutkan mana
yang perlu saya lakukan dan mana yang harus kamu lakukan. Paradigma kita harus
selaras dengan: apa yang perlu kita lakukan. Kita terus berpacu dengan waktu,
kesempatan kita dalam dakwah kampus hanya 1 tahun dan belum tentu habis sesuai
jatah waktunya. Namun pembuktian cinta pada-Nya tak terbatas waktu apalagi
terbatas pada posisi amanah. Maka melakukan yang terbaik merupakan suatu
keniscayaan.
Dan bagi tiap-tiap umat
ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah
kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah:148).
“Mereka itu bergegas
segera dalam meraih kebaikan. Dan merekalah orang-orang yang terdahulu
memperolehnya," (Al-Mu’minun : 61).
Ketika turun ayat tentang hijab, tanpa membuang tempo para
shahabiyah langsung mengambil kain-kain mereka dan melilitkan ke seluruh
tubuhnya. Para shahabiyah yang berada di pasar-pasar lantas tidak langsung
pulang ke rumah. Mereka memilih untuk bersembunyi di balik batu-batu besar,
menunggu malam yang sepi barulah mereka pulang ke rumah. Lagi-lagi Ini adalah
bukti, bahwa sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang memiliki budaya fastabiqul khairat, budaya tak mau
menunggu dan selalu kompetisi dalam ketaatan.
Faktanya, kondisi kekinian dalam masyarakat kita berbeda, budaya
kompetisi ini lebih digandrungi dalam ranah keduniaan. Kitapun berlomba-lomba
dalam memperkaya diri, mempercantik rupa, menggagah-gagahkan sikap, mengejar
jabatan, mencicil gelar demi gelar dan menumpuk atribut-atribut keduniaan
lainnya. Bahkan di antara para aktivis dakwah secara tidak sadar atau bahkan
sadar menjadikan amanah sebagai suatu kelebihan keduniawian belaka, marah
ketika amanah itu tidak berada di tangannga. Tidak jarang pula mereka yang
sudah memiliki amanah tersebut merasa memiliki peran tanpa perlu mengkoordinasikannya
pada pimpinannya.
Apakah sebenarnya yang perlu kita kejar? Ke-keren-an semata kah
atau sekedar decak kagum keluwesan kita dalam berpikir dan mengambil sikap?
Tentu sebagai aktivis dakwah kampus kita tidak boleh melupakan bahwa kita
berada dalam sistem yang mengatur kita dalam beramal jama’i. Penting untuk
memposisikan diri kita sesuai tempat kita berada dan area kebijakan yang dapat
kita lakukan tanpa sedikitpun menutup mata pada posisi lain para kawan kita
sesama aktivis dakwah kampus lainnya. Sehingga tiada tumpang tindih, sinergitas
gerak elok kita itu yang diinginkan.
"Bukanlah kefakiran yang sangat aku khawatirkan terjadi
pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia
dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk
meraihnya seperti dimana yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian.
Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (Bukhari
dan Muslim).
Jikalaupun kita memperoleh dunia, maka teruslah melangkah
sebagai orang yang dititipi amanah, berjalanlah sambil menunduk, indahkan
titipan itu dengan keihklasan dan niat pengabdian kepada umat.
Tidak ada yang keliru terhadap semangat kita dalam memanen
pahala maupun bersemangat dalam “mencari perhatian” Allah SWT. Tidak pula
keliru semangat kita dalam memenuhi segala panggilannya. Kita hanya perlu
memperhatikan di mana posisi kita dan melakukan yang terbaik yang kita bisa
untuk membuktikan cinta kita pada-Nya. Karena cinta itu suatu kata kerja, yang
syarat diterimanya membutuhkan pembuktian.
Dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw: “Ingatlah!
Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi
kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung
jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin
dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Begitulah
kita, tiada satu pun dari perilaku kita selain nantinya akan dimintai
pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban yang kita pikul sendiri-sendiri di
yaumil hisab kelak. Maka bagaimanakah akhir dari tiap kita? Jawabannya ada pada
kita masing-masing sebagai penentunya. Buktikan dengan cinta sederhana yang kadang
kompleks dipahami orang lain yang melihatnya. Ketidaksederhanaan yang dilihat
orang lain atas sikap kita hanya disebabkan karena mereka belum tahu betapa
indahnya gayung bersambut jika cinta kita diterima oleh-Nya. Maka teruslah
bekerja untuk membuktikan pada-Nya bukan pada mereka yang sekedar mampir
menonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar