Sabtu, 30 Maret 2013

Berada di titik 0 Barat Pulau Jawa



Pernahkah berpikir berada di ujung bumi? 
Ya, mana mungkin... 

Dunia yang diciptakan sang Maha Pencipta ini kan bulat. Tapi saat ini, saya berada tepat di titik nol barat Pulau Jawa. Titik di mana bisa dilihat keindahan bumi Banten. Pertama kali dan sangat berkesan.

---


Pagi cerah itu saya berkumpul bersama teman-teman ex-pengurus BEM fakultas :)
Berkumpul yang tidak seperti biasanya (red: rapat), tapi kita berkumpul untuk jalan-jalan. Hmm, perjalanan dengan perencanaan yang cukup matang oleh panitia (yang unpublished)

Jujur, berkali-kali jalan-jalan kepengurusan ini hanya berlalu sekedar menjadi wacana. Bahkan, sejak saya bergabung :D
Namun, kali ini menjadi realistis dengan perencanaan yang matang walaupun tidak semua anggota ikut hadir karena kendala yang memang tidak dapat diprediksi. Semoga dikuatkan dan diberi kesehatan pada teman saya yang sejak sebulan sebelum keberangkatan terus menerus dengan sabar menanyakan keikutsertaan saya, namun tak jua saya respon. Bukan kebiasaan saya, tapi jujur karena keinginan saya yang besar untuk ikut tetapi khawatir di tanggal yang bertepatan dengan itu saya tidak bisa ikut. Di H-2 hari dia berhasil bertemu dengan saya dan saya jawab dengan "ya". Meskipun pada hari H dia malah tidak ikut karena sakit (anyway, thanks a lot ya Fikri Sulthoni)

Sepanjang perjalanan, jauh dari yang diprediksikan. Kami tidak menemui macet, alhamdulillah. Sehingga perjalanan Depok-Banten memakan waktu kurang lebih 2 jam. Hmm, perjalanan yang penuh dengan nyayian (yang entahlah apa istilah untuk satu kegiatan ini di bus sepanjang perjalanan) dan dipenuhi dengan kuis kreatif dari PJ acara (Ganis Sanhaji), you are creative man.

Destinasi pertama adalah Museum Purbakala Banten. Cukup belajar sedikit sejarah kekhasan Banten. Hmm, semakin bersyukur menjadi salah satu bagian dari keluarga besar dengan latar belakang sejarah negara yang keren. Dan ini salah satu rumah adat yang ada di salah satu suku di Banten, Baduy.
Destinasi berikutnya ke Masjid Agung Banten yang tidak jauh dari museum, hanya perlu berjalan kaki. Rencananya di masjid ini kami akan melaksanakan Shalat Dzuhur, namun apa boleh bikin... 
Masjid ini ramai padat, bahkan wudhunya pun bingung mau di mana (ya di tempat wudhu lah, hehe). Maksud saya saking sesaknya merasa tidak nyaman untuk melaksanakan ibadah di masjid ini. Sehingga sebagian besar kami yang cewek enggan dan berkeputusan untuk shalat di destinasi berikutnya.
Sepanjang jalan dari museum hingga masjid diramaikan oleh pedagang, tapi sayangnya tidak tampak khas daerah Banten yang dijual di sini melainkan barang khas Arab.

Ada satu hal yang membuat masjid ini sangat ramai, ya selain kami memang datang di waktu libur. Selain masjid ini yang bersejarah, di masjid ini pula ada beberapa makam para wali yang dianggap sakral oleh masyarakat, sehingga mereka rela berdesakan dan antre untuk memanjatkan doa di nisan. Yah, beginilah realitas masyrakat hari ini, semoga semangat belajar Islam lambat laun akan memotong kebiasaan yang tidak diinginkan oleh agama.

Destinasi berikutnya adalah rumah pak PO jalan-jalan ini, Yasir Arafat. Wah, keren banget kedua orang tuanya. Thanks a lot for them...
Bayangin aja, pas kita sampai di rumahnya yang sederhana namun menyejukkan di tengah teriknya panas. Di tengah keroncongnya lambung dengan kadar asam yang meningkat, meminta haknya untuk mengolah sesuatu yang dimasukkan ke tubuh (hehe lebay). Kami disediakan senampan besar ikan bakar + sambal lezatnya, dilengkapi dengan cumi yang dimasak tomat. Hmm, selalu terbayang dan membuat rindu untuk balik lagi :) Semua makan dengan lahap, tak terkecuali. 

Dan perjalanan ini diakhiri dengan pantai, khas wisata Banten. Tahu kan? Tempat judul cerita ini diambil. Awalnya agak gondok dengan peraturan yang semena-mena di tempat kami yang tidak direncanakan untuk disinggahi ini, alhamdulillah berakhir dengan cukup menyenangkan. Bagaimana tidak? Tidak ada pengumuman terkait tarif dan tidak akad jual-beli, kemudian rombongan kami ditodong dengan "uang parkir" yang harganya luar biasa. Hmm, Indonesiaku sayang Indonesiaku malang, semoga pemimpin masa depannya sadar akan potensi alam dengan pengelolaan profesional dan memuaskan rakyat (amiin).

Kami naik ke atas Menara Willem yang memiliki 16 lantai (lupa tingginya berapa meter ya?) untuk menuju puncaknya. Menara ini merupakan mercusuar penanda titik nol daerah terbarat pulau Jawa. Wuih, anginnya kenceng dan betapa indahnya pemandangannya. Maha Suci Allah yang tidak pernah cacat sedikitpun menciptakan ciptaannya. Oya, hanya perlu Rp3000 / orang untuk bisa menikmati sensasi berada di atas awan ini :)
Setelah didesak untuk turun karena ada beberapa orang yang menunggu, kami turun dan melanjutkan agenda berikutnya. 


Agenda berikutnya adalah agenda pamungkas dan refleksi sedikit cita-cita hidup. Maklum, mahasiswa akhir tingkat. Tentunya, setiap kita selalu mengharapkan yang terbaik dan berusaha mendapatkan apa yang kita inginkan. Semoga tercapai semua yang kalian harapkan guys, apapun itu saya yakin tidak hanya berhenti pada kebaikan pribadi. Saya sangat yakin, sebab sebelum bertemu kalian dalam satu forum saya tahu saya diajak bergabung bersama orang hebat yang tidak ingin hidupnya biasa-biasa saja untuk besar dengan cita-cita yang biasa-biasa saja. Terima kasih atas segala penerimaan dan pembelajaran hidup berharga yang disampaikan kepada saya.
---

Terima kasih kepada Aisyah Bidara & Riza Nur Adinda yang mau menerima menjadi mate-ku di tengah kepengurusan :)
Terima kasih kepada Rivan Tri Yuono, Muhammad Kemal Prasya, dan Ipung L. Purwaka yang gigih mengajak saya ikut gabung di tim hebat ini (anggap saja saya ge-er)
Terima kasih kepada semuanya, Arif Hidayat, Ika Yuliana, Puri Wulandari Rahayu, Qivi Azizah, Amelia Nur Fitriana, Ganis Sanhaji, Rizqi Wahyu Nur Cahyo, Sila Sakti, Haniyah Nadira, Priska Andini Putri, Yasir Arafat, Fikri Sulthoni, Bimo Ary Pujangga Putra, Munazyi, Regy Inneke Ridart, Harnoko Dwi Yogo, Abdul Karim, dan Galih.

Sebagian dari kalian sudah mengenal saya sebelumnya, sebagian lagi belum. Tapi Allah Yang Maha Menakdirkan sehingga kita diberi kesempatan untuk saling mengenal lebih dibanding yang lain. Doa terbaikku selalu untuk kalian, kawan. Semoga kita bisa berjumpa di kesempatan lain dengan kondisi yang jauh lebih 'oke'.

"Kamu sangat berarti, istimewa di hati
s'lamanya rasa ini...
Jika tua nanti kita t'lah hidup masing-masing
ingatlah hari ini..."
(sepenggal lagu project pop)

Depok, 2:01

Rabu, 27 Maret 2013

Berkejaran dalam Perlombaan Besar


Realitas adanya laki-laki dan perempuan adalah salah satu sunnatullah keseimbangan, dimana kedua jenis makhluk Allah tersebut bisa saling melengkapi dan bekerja sama secara proporsional pada segala medan kehidupan. Allah SWT menyebutkan secara spesifik “laki-laki dan perempuan” yang beriman, tatkala menyebutkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar :

“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana“ (Q.S At Taubah : 71)

Ayat tersebut jelas menggambarkan peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam menunaikan dakwah. Keduanya terlibat dalam suatu sistem amal jama’i, saling menguatkan di antara mereka dalam kebaikan. Keterlibatan akhwat dalam dakwah bukanlah pada ranah tertentu, tetapi pada seluruh ranah dakwah. Akhwat muslimah adalah pelaku dakwah yang tidak dapat dipisahkan dengan laki-laki.

Dengan kondisi saat ini di mana jumlah akhwat yang aktif sebagai penggerak Dakwah Kampus UI tidak bisa dipandang sebelah mata. Kenyataannya, kita tidak dapat memaksakan kehendak, siapa yang akan bersemangat dalam dakwah dan siapa yang memilih teratur mundur. Sehingga siapapun dia, ketika dia bersegera menuju panggilan dakwah ini secara ikhlas dan bersemangat membuat dia menjadi salah satu bagian dari pergerakan kecil dakwah kita di kampus.

Teringat peran kepemimpinan bunda Aisyah ra dalam Perang Jamal yang sangat gagah, menggerakkan ribuan sahabat setia yang rela berjuang untuk mempertahankan apa yang dibawanya. Terlepas dengan siapa peperangan ini dia kobarkan, bunda Aisyah ra memberikan satu pelajaran sekaligus contoh kepemimpinan perempuan dalam Islam. Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab pun, beliau mengangkat Asy Syifa binti Abdillah Al Adawiyah sebagai pemimpin pasar yang merupakan kepemimpinan perempuan secara sektoral, bukan wilayah umum.

Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat tentang kepemimpinan perempuan, ”Adapun kepemimpinan sebagian perempuan atas laki-laki diluar lingkup keluarga, tidak ada nash yang melarangnya. Dalam hal ini yang dilarang adalah kepemimpinan umum seorang perempuan atas laki-laki.”

Pemahaman terkait kesetaraan gender yang diperdebatkan para liberalis saat ini sudah jauh terlewat kita lampaui sejak Islam hadir. Kita sudah pula mengetahui bahwa syuhadah pertama adalah seorang shahabiyah, para muslimah diberikan hak dan kesempatan laiknya kaum laki-laki: mengadu pada pemimpin, menimba ilmu dari Nabi SAW, ikut dalam medan perang, meluruskan kesalahan pemimpin, menentang penguasa dzalim, hingga peran kepemimpinan.

Perenungan atas motivasi kita dalam mengemban amanah saat ini dirasa penting untuk dilakukan. Bagaimana mungkin, kita (baik laki-laki atau perempuan) terpilih dari sekian banyak orang yang memiliki kualitas yang “lebih baik” dari kita secara penglihatan kita. Tentunya bukan karena kita jauh lebih hebat, belum tentu juga karena kita lebih salih, apalagi karena kita lebih mulia, bukan itu. Sehingga perenungan akan posisi amanah kita saat ini menurut hemat penulis berada pada tataran anugerah yang patut disyukuri. Memang bukan karena kita lebih baik tentunya, namun lebih sederhana dari itu, karena kita mencoba menjadi lebih siap dibanding yang lain dan kesempatan itu ditawarkan kepada kita oleh Allah SWT bukan kepada yang lain, lagi-lagi sekedar untuk menguji keseriusan kita dalam menjalankan perintah-Nya.

Pernahkah kita membayangkan atau merasakan kemenangan dalam suatu kompetisi yang bergengsi dengan hadiah spektakuler? Tentu, meski bukan suatu kompetisi yang besar dan keren, tiap kita pasti inginkan yang terbaik buat diri kita. Ajang penerimaan penghuni surga secara gratis alias “dijamin masuk surga” adalah bentuk kelebihan yang diberikan Allah untuk para nabi-Nya beserta para sahabat kekasih-Nya yang terpilih. Dalam riwayatnya, ada 70 orang yang dijamin masuk surga, keterangan dari riwayat tersebut juga ada beberapa perbedaan, bahkan dari 70 orang itu masih ada 70 orang lagi cabangnya. Keluar dari konteks “sekedar menginginkan surga”, jauh dari itu tiada terkecuali keridhaan dan kemurahan-Nya kelaklah yang kemudian menjadikan kita layak atau tidak pulang ke tempat yang terbaik (surga). Yang kemudian mesti kita sadari bahwa hidup adalah fungsi dari waktu. Ia terus saja berjalan, tidak ada delay.

Ketika kita menyadari itu, tidak lagi kita memperebutkan mana yang perlu saya lakukan dan mana yang harus kamu lakukan. Paradigma kita harus selaras dengan: apa yang perlu kita lakukan. Kita terus berpacu dengan waktu, kesempatan kita dalam dakwah kampus hanya 1 tahun dan belum tentu habis sesuai jatah waktunya. Namun pembuktian cinta pada-Nya tak terbatas waktu apalagi terbatas pada posisi amanah. Maka melakukan yang terbaik merupakan suatu keniscayaan.

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah:148).
“Mereka itu bergegas segera dalam meraih kebaikan. Dan merekalah orang-orang yang terdahulu memperolehnya," (Al-Mu’minun : 61).

Ketika turun ayat tentang hijab, tanpa membuang tempo para shahabiyah langsung mengambil kain-kain mereka dan melilitkan ke seluruh tubuhnya. Para shahabiyah yang berada di pasar-pasar lantas tidak langsung pulang ke rumah. Mereka memilih untuk bersembunyi di balik batu-batu besar, menunggu malam yang sepi barulah mereka pulang ke rumah. Lagi-lagi Ini adalah bukti, bahwa sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang memiliki budaya fastabiqul khairat, budaya tak mau menunggu dan selalu kompetisi dalam ketaatan.
Faktanya, kondisi kekinian dalam masyarakat kita berbeda, budaya kompetisi ini lebih digandrungi dalam ranah keduniaan. Kitapun berlomba-lomba dalam memperkaya diri, mempercantik rupa, menggagah-gagahkan sikap, mengejar jabatan, mencicil gelar demi gelar dan menumpuk atribut-atribut keduniaan lainnya. Bahkan di antara para aktivis dakwah secara tidak sadar atau bahkan sadar menjadikan amanah sebagai suatu kelebihan keduniawian belaka, marah ketika amanah itu tidak berada di tangannga. Tidak jarang pula mereka yang sudah memiliki amanah tersebut merasa memiliki peran tanpa perlu mengkoordinasikannya pada pimpinannya.
Apakah sebenarnya yang perlu kita kejar? Ke-keren-an semata kah atau sekedar decak kagum keluwesan kita dalam berpikir dan mengambil sikap? Tentu sebagai aktivis dakwah kampus kita tidak boleh melupakan bahwa kita berada dalam sistem yang mengatur kita dalam beramal jama’i. Penting untuk memposisikan diri kita sesuai tempat kita berada dan area kebijakan yang dapat kita lakukan tanpa sedikitpun menutup mata pada posisi lain para kawan kita sesama aktivis dakwah kampus lainnya. Sehingga tiada tumpang tindih, sinergitas gerak elok kita itu yang diinginkan.
"Bukanlah kefakiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti dimana yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (Bukhari dan Muslim).
Jikalaupun kita memperoleh dunia, maka teruslah melangkah sebagai orang yang dititipi amanah, berjalanlah sambil menunduk, indahkan titipan itu dengan keihklasan dan niat pengabdian kepada umat.

Tidak ada yang keliru terhadap semangat kita dalam memanen pahala maupun bersemangat dalam “mencari perhatian” Allah SWT. Tidak pula keliru semangat kita dalam memenuhi segala panggilannya. Kita hanya perlu memperhatikan di mana posisi kita dan melakukan yang terbaik yang kita bisa untuk membuktikan cinta kita pada-Nya. Karena cinta itu suatu kata kerja, yang syarat diterimanya membutuhkan pembuktian.
Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw: Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, (Al-Hadits).

Begitulah kita, tiada satu pun dari perilaku kita selain nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban yang kita pikul sendiri-sendiri di yaumil hisab kelak. Maka bagaimanakah akhir dari tiap kita? Jawabannya ada pada kita masing-masing sebagai penentunya. Buktikan dengan cinta sederhana yang kadang kompleks dipahami orang lain yang melihatnya. Ketidaksederhanaan yang dilihat orang lain atas sikap kita hanya disebabkan karena mereka belum tahu betapa indahnya gayung bersambut jika cinta kita diterima oleh-Nya. Maka teruslah bekerja untuk membuktikan pada-Nya bukan pada mereka yang sekedar mampir menonton.